Sejak SD saya sudah memicingkan
mata dengan doktrin “agama kita yang paling benar” dengan sambil merendahkan
penganut agama lain. Rasanya kurang pas di hati. Nurani saya mengatakan itu
bertentangan dengan keimanan kepada Tuhan itu Maha Adil. Maka kemudian hati
saya menemukan ketenangan ketika mempelajari Islam dari pendekatan tasawuf yang
tidak memfokuskan kepada perbaikan diri sendiri karena orang lain itu di luar
jangkauan kita. Hati orang siapa yang tahu? Namun tidak berarti kita cuek dan
tidak beramar ma’ruf nahi munkar. Tidak sama sekali. Titik beratnya adalah pada
penghakiman bahwa kita paling benar sedangkan yang lain salah dan pasti masuk
neraka. I mean who are we to judge?
Saya kira sampai akhir masa pun
akan selalu ada umat Nasrani dan umat Yahudi. Karena dengan ada contoh-contoh
dalam kehidupan kita menjadi lebih paham apa makna kenasranian dan keyahudian
dalam Al Quran. Begitu pun saya menduga walaupun sekarang era digital, bentuk
catatan dalam lembaran kertas dan buku-buku akan diabadikan hingga hari akhir
untuk memberi sebuah gambaran tentang apa itu kitab, mushaf, lauh-lauh,
gambaran tinta tulisan yang mengering dsb.
Mursyid saya berpesan sebagai
berikut tentang hikmah keberagaman agama:
“Bagi kita
keberadaan ahlul kitab, kaum Yahudi dan Nashara adalah sebuah tahapan
perjalanan. Ada orang yang ke Yahudi dulu kemudian ke agama Nasrani kemudian ke
agama Islam. Di Islam pun bertingkat-tingkat tahapan perjalannya.
Contoh
misalnya Umar bin Khaththab ra khalifatullah fil ardh berkunjung ke Yerusalem
yang pada saat itu merupakan pusat Nasrani, di sana ada katedralnya. Karena
orang-orang Nasrani yang diusir oleh tentara Romawi hanya mau menyerahkan kunci
kota ke khalifah langsung. Akhirnya Umar berjalan dari Madinah ke Baitul Maqdis
berdua tanpa pengawalan hanya dengan mengendarai sebuah unta yang dikendarai
secara bergantian. Sampai di gerbang kota semua menyangka bahwa yang di atas
unta adalah sang khalifah padahal itu adalah pelayannya. Karena pada saat itu
pas jatah Umar menuntun unta. Orang kaget ketika mengetahui bahwa sang khalifah
adalah yang menuntun unta itu.
Saat tiba
waktu shalat, pendeta Nasrani menyilahkan Umar untuk shalat di katedral mereka.
Dan Umar sang sahabat Nabi itu menyanggupi. Ia bergerak masuk ke gereja untuk shalat
dengan menghadap kiblat. Tapi tak lama ia keluar dan tak jadi shalat di
jalannya karena ia tidak mau sepeninggalnya nanti umat Islam mengubah gereja
menjadi masjid. Bayangkan bagaimana orang yang berpengetahuan tinggi, para
sahabat nabi juga memelihara hak kafir dzimmi. Itu kemuliaan Islam."
No comments:
Post a Comment