Tuesday, July 28, 2020


Sejak SD saya sudah memicingkan mata dengan doktrin “agama kita yang paling benar” dengan sambil merendahkan penganut agama lain. Rasanya kurang pas di hati. Nurani saya mengatakan itu bertentangan dengan keimanan kepada Tuhan itu Maha Adil. Maka kemudian hati saya menemukan ketenangan ketika mempelajari Islam dari pendekatan tasawuf yang tidak memfokuskan kepada perbaikan diri sendiri karena orang lain itu di luar jangkauan kita. Hati orang siapa yang tahu? Namun tidak berarti kita cuek dan tidak beramar ma’ruf nahi munkar. Tidak sama sekali. Titik beratnya adalah pada penghakiman bahwa kita paling benar sedangkan yang lain salah dan pasti masuk neraka. I mean who are we to judge?

Saya kira sampai akhir masa pun akan selalu ada umat Nasrani dan umat Yahudi. Karena dengan ada contoh-contoh dalam kehidupan kita menjadi lebih paham apa makna kenasranian dan keyahudian dalam Al Quran. Begitu pun saya menduga walaupun sekarang era digital, bentuk catatan dalam lembaran kertas dan buku-buku akan diabadikan hingga hari akhir untuk memberi sebuah gambaran tentang apa itu kitab, mushaf, lauh-lauh, gambaran tinta tulisan yang mengering dsb.

Mursyid saya berpesan sebagai berikut tentang hikmah keberagaman agama:
“Bagi kita keberadaan ahlul kitab, kaum Yahudi dan Nashara adalah sebuah tahapan perjalanan. Ada orang yang ke Yahudi dulu kemudian ke agama Nasrani kemudian ke agama Islam. Di Islam pun bertingkat-tingkat tahapan perjalannya.

Contoh misalnya Umar bin Khaththab ra khalifatullah fil ardh berkunjung ke Yerusalem yang pada saat itu merupakan pusat Nasrani, di sana ada katedralnya. Karena orang-orang Nasrani yang diusir oleh tentara Romawi hanya mau menyerahkan kunci kota ke khalifah langsung. Akhirnya Umar berjalan dari Madinah ke Baitul Maqdis berdua tanpa pengawalan hanya dengan mengendarai sebuah unta yang dikendarai secara bergantian. Sampai di gerbang kota semua menyangka bahwa yang di atas unta adalah sang khalifah padahal itu adalah pelayannya. Karena pada saat itu pas jatah Umar menuntun unta. Orang kaget ketika mengetahui bahwa sang khalifah adalah yang menuntun unta itu.

Saat tiba waktu shalat, pendeta Nasrani menyilahkan Umar untuk shalat di katedral mereka. Dan Umar sang sahabat Nabi itu menyanggupi. Ia bergerak masuk ke gereja untuk shalat dengan menghadap kiblat. Tapi tak lama ia keluar dan tak jadi shalat di jalannya karena ia tidak mau sepeninggalnya nanti umat Islam mengubah gereja menjadi masjid. Bayangkan bagaimana orang yang berpengetahuan tinggi, para sahabat nabi juga memelihara hak kafir dzimmi. Itu kemuliaan Islam."

No comments:

Post a Comment