Sejak kecil saya alergi sama orang yang suka marah-marah dan bengis. Cara saya protes kalau tidak langsung konfrontasi orang itu ya dengan walk-away. Maka saya pernah terlibat perseteruan dengan dua orang laki-laki sekelas yang kerap berbuat onar, sekali saat TK nol besar dan sekali lagi hampir berkelahi di pematang sawah saat SD kelas 1. Waktu SMP sempat walk-out, berhenti les piano klasik yang sebenarnya saya sukai gara-gara gurunya galak setengah mati. Saat masuk universitas pernah kabur dari acara - what so called by- Ospek -seharusnya berisi materi Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus -karena setengah hari hanya disuruh berdiri di lapangan dan dibentak-bentak. (I didnt sign up for this, i said to myself). Demikian pun saat ospek jurusan satu-satunya yang tidak ikut bukan karena masalah kesehatan, tapi karena menolak jadi bagian dari acara dibentak-bentak ga jelas itu. Sampai saya diancam tidak akan mendapatkan ijazah, dan terbukti ancaman itu kosong belaka😉
Refleks itu berlanjut hingga saya bekerja. Kalau kebetulan dapat big boss yang galak ya nda betah. Suasana meeting jadi penuh ketegangan bahkan lebih menyeramkan dibanding ke kuburan di tengah malam gelap. Ah, repotnya berhadapan dengan orang yang galak.
Sekarang refleks saya berubah, barangkali sejak punya anak dan keluar rahwana marah-marah yang ada dalam diri saya. Masya Allah. Saya lebih pengertian kepada orang-orang jutek, galak atau bahkan toxic people. Kalau diteropong lebih dalam, mereka juga tak kuasa mengendalikan dirinya. Mereka begitu karena hatinya sakit, kebanyakan karena trauma masa lalu. Mereka galak begitu karena di dalam hatinya masih ada amarah dan dendam yang membara yang itu terpercik keluar menjadi perilaku yang galak dan kerap marah-marah.
Suatu saat saya pernah bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Kebetulan satu shift sama anak pemilik restoran yang super duper galak. Semua orang sudah tahu siapa dia. Tak sedikit orang yang berhenti kerja karena tak tahan dengan kata-kata dan perilakunya yang menyakitkan. Dan malam itu hanya saya dan dia melayani ratusan pengunjung restoran. Bisa dibayangkan habis hati saya digerinda😂 Alhamdulillah, latihan sabar (sambil mengusap dada). Saya paham apa yang dia sampaikan benar, hanya cara penyampaiannya saja sebetulnya yang bisa diperhalus. Saya belajar untuk menghadapi orang seperti ini. Pribadi yang ibunyapun bahkan kerap dibuat geleng-geleng kepala. Tapi dari penuturan sang ibu justru saya paham bahwa anak ini telah mengalami banyak gelombang kehidupan. Perilakunya saat itu mungkin bagian dari self-defensenya, that’s how she has survived all this time. By being tough, being hard to herself kemudian jadi keras buat orang sekitarnya. Tapi saat dia melepaskan semua kuda-kuda self-defensenya kita akan lihat dia sebagai seseorang yang suka melawak, ceria dan baik. Maka saat dia berulang tahun saya kasih kejutan hadiah buat dia, yang membuatnya terkejut, bahkan ibunya kaget ada ya yang mau kasih hadiah untuknya😅
Itulah saya makin yakin bahwa setiap orang pada dasarnya baik. Dibalik topeng galak, bengis, dan amarah yang ditontonkan, ada hati yang lembut yang hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali teraktivasi. “Don’t fight fire with fire” kata pepatah. Menghadapi orang seperti ini kita yang harus cool, tenang, agar tidak sama-sama memercikkan api hingga membakar diri serta sekitarnya.
Dalam hidup saya, dipertemukan dan dibersamakan dg orang2 galak, dan krn saya bukan orang yg suka konfrontrasi, saya ga fight the fire, seringkali saya terima bhw saya yg salah, tetapi itulah saya tdk suka dg caranya, hingga tiap hari saya hidup dalam ketidaknyamanan atau bisa dikatakan ketakutan, takut salah.
ReplyDelete