Thursday, January 24, 2019

Anakmu bukanlah milikmu

Beberapa hari lalu bertemu dengan seorang kawan yang baru melahirkan di sebuah cafe. Bayinya sangat lucu dan baru berusia sekitar 2 bulan. Sepanjang dua jam dia tertidur pulas di strollernya yang empuk dan hangat, tak peduli pada suara kencang kami yang beberapa kali lepas tertawa. Sekalinya bayi itu terbangun hanya minnum 200 ml ASI yang sudah tersedia di botol, setelah ditepuk-tepuk sebentar tidur lagi. Saya sempatkan menggendong tubuh mungilnya. So adorable, seperti menggendong boneka!

Saya jadi ingat saat anak-anak masih seusia dia dulu, it’s way easier. Tidur sepanjang waktu, lalu bangun hanya untuk makan dan diganti popok. Lalu datang saat ia sudah bisa merangkak dan meraih apapun yang dia anggap menari, lalu dia bisa memanjat boxnya sendiri, tahu-tahu sudah bisa jalan dan kadang kita tergopoh-gopoh mengejar dia yang ngeloyor sendiri menyeberangi jalan tanpa peduli potensi bahaya sekitarnya. Dunia anak sangat impulsif, dia akan merespon apapun yang ada di sekelilingnya. Kemudian tiba saat dia mulai menolak makanan yang kita sodorkan, lalu ada saatnya pakaian pun sudah ingin memilih keinginannya sendiri. Makin besar anak semakin dia punya jalannya sendiri. Kadang sebagai orang tua kita tidak siap menerima perbedaan itu, apalagi kalau anak sudah remaja dan mulai bisa diskusi masalah-masalah prinsip dalam kehidupan.

Di Belanda ada pepatah “kleine kinderen kleine zorgen, grote kinderen grote zorgen”, kira-kira artinya semakin anak dewasa semakin repot ngasuhnya 😉. Kalau masih kecil orang tua dibuat lelah oleh urusan logistik; makan, minum, mandi, berpakaian dsb. Semakin dia bertambah umurnya semain merambah ke area lain untuk berkembang. Kalaupun secara fisik dia mulai mandiri tapi ada ‘kelelahan’ lain yang kerap dialami orang tua, yaitu ‘lelah hati’. Apalagi saat diuji dengan anak yang menurut persepsi orang tuanya tidak nurut. Disitu kita dipaparkan oleh sebuah realita, a bitter truth, bahwa mereka adalah individu tersendiri, seperti yang dikatakan oleh Kahlil Gibran:

Anakmu bukanlah milikmu
Mereka adalah putra putri Sang Hidup
Yang rindu akan dirinya sendiri

Mereka lahir lewat engkau
Tetapi bukan dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Anak-anak kita akan menjelang dunia yang sangat berbeda dengan apa yang pernah kita alami, waktu yang berbeda dengan masa yang kita pernah arungi. Tidak pas tentunya mengenakan mereka pakaian dari masa lalu kita dengan dalih “ini yang akan membuatmu berhasil” sementara arena kehidupan yang mereka akan lalui sudah berbeda.  Karena kita tidak tahu tentang masa depan, maka selaiknya kita serahkan mereka kepada Dia Sang Perancang kehidupan.

Episode diamanahi anak betul-betul sebuah pembelajaran untuk menjadi faqir, tak berdaya. Hati kita pun dibolak-balik sedemikian rupa, belajar untuk mencintai mereka dengan sepenuh hati lalu pada saatnya harus melepas itu semua. Because to love is to let go. Membiarkan mereka tumbuh sepenuhnya menjadi dirinya sendiri, menjadi untuk apa mereka dicipta.
***
Renungan mellow seorang emak selepas mengantarkan kedua anaknya sekolah menembus tumpukan salju di pagi hari. Sambil menggenggam erat kedua tangannya yang masih kecil dan berbisik “Ya Allah, mereka milik-Mu, Engkau sebaik-baik Pendidik, sebaik-baik Penjaga dan sebaik-baik Pemelihara. Aku serahkan mereka sepenuhnya dalalam Pengawasan-Mu”

2 comments:

  1. Saya sangat "kepo" pada biografi teman teman yg menurut saya "sukses", saya sedang mencari suatu "formula" kesuksesan. Yang sedianya akan saya ajarkan pada anak anak saya. Tetapi rupanya formula untuk "sukses" versi saya itu tdk ada, yg ada adalah formula untuk sukses dlm menjalani skenarioNya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju sekali. Pada akhirnya peninggalan terbaik orang tua kepada anaknya adalah akhlak baik yang kita contohkan kepada mereka. So be the person you want your children to be

      Delete