Monday, January 7, 2019

Ada satu mimpi yang masih tergambar jelas dalam ingatan saya. Mimpi itu saya alami saat berusia sekitar 9 tahun. Dalam mimpi itu saya berjalan-jalan ke kebun binatang Bandung bersama almarhum ayah dan oom serta adik saya, dan bertemu satu keluarga orang asing berambut pirang, terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak kecil. Kemudian tiba-tiba saya bisa ngobrol ngalor-ngidul dengan mereka dalam bahasa yang saat itu asing bagi saya. 

Fast forward, sekitar tiga tahun kemudian ibu saya mendaftarkan saya kursus Bahasa Inggris dan sejak saat itu kecintaan saya kepada bahasa kian membuncah. Allah kiranya memudahkan bagi saya untuk mempelajari bahasa asing, hingga saat di bangku SMA guru Bahasa Inggris saya menyuruh saya mengisi suara dalam bahasa Inggris yang hanya dilakukan berdua dengan teman saya yang memang berdarah setengah bule.

Kemudahan yang Allah berikan lewat bahasa ini kemudian membuat keahlian saya dalam menerjemahkan mulai diakui saat menjalani program ko-ass di RSHS Bandung (periode tahun 2001-2003), satu persatu para residen atau dokter umum yang sedang mengambil program spesialis meminta bantuan saya untuk menerjemahkan berbagai artikel ilmiah dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, bahkan tidak sedikit yang sekalian minta dibuatkan presentasi Power Pointnya.  

Ketika beralih dari dunia klinis kedokteran ke dunia distribusi kesehatan, boleh dibilang kemampuan Bahasa Inggris juga yang berperan besar menunjang kemajuan karir saya, apalagi perusahaan tempat saya bekerja dulu adalah perusahaan multi national. Karenanya saya kerap dikirim ke luar negeri, salah satunya dikirim ke kota London, tempat saya bertemu pertama kalinya setelah jeda 14 tahun bersekolah di SMA yang sama di Bandung dengan ayah dari anak-anak. One thing leads to another. 

Sekarang, saya mendapat tantangan belajar bahasa baru, yaitu Bahasa Belanda. Selain beberapa naskah berbahasa Inggris yang masih menumpuk di meja kerja saya (yang merangkap meja makan keluarga) , saya harus mengatur waktu di sela-sela kesibukan mengurus anak-anak dan bekerja, untuk mendalami Bahasa Belanda, dengan sepenggal misi dari mursyid saya, “Coba terjemahkan terjemahan serat-serat para Wali Songo yang tersimpan di Perpustakaan Leiden”.


Demikianlah benang merah kehidupan saya ternyata salah satunya dirajut dalam sehelai kemampuan berbahasa yang Allah amanahkan. Suatu hal yang insya Allah akan saya lakukan sampai nafas terakhir. Alhamdulillah akhirnya dengan berkat rahmat Allah Ta’ala saya bisa mulai mengidentifikasi jenis kegiatan yang bisa saya lakukan tanpa mengenal pensiun. Demikianpun sahabat semua, karena setiap orang dilahirkan dengan tugas dan bakatnya yang spesifik. Wajib mengidentifikasi itu dengan memohon pertolongan kepada Allah agar diberi terang dan dibukakan jalannya, selagi masih ada usia. Temukan hal, passion, aktivitas, sesuatu yang produktif yang kita bisa mengerjakannya selama berjam-jam dengan suka cita, mungkin lelah dan harus peras otak tapi hati membuncah oleh gairah yang dalam. Sambil mencoba berbisik, “Ini untuk-Mu Tuhan…”

No comments:

Post a Comment