MEMBACA PERNIKAHAN
“Pernikahan adalah jalan kematian” begitu kata Jalaluddin Rumi.
Semua yang menikah akan sepakat bahwa menjalani rumah tangga bersama, menyatukan dua dunia yang berbeda itu tidak mudah. It’s definitely not a walk in a park. Sementara waham kita terlanjur dicekoki oleh kehidupan pernikahan yang romantis ala Hollywood atau telenovela dan terkaget-kaget serta tidak siap begitu terkonfrontasi oleh sekian gerindaan dalam interaksi di dalamnya. Tidak heran secara statistik lebih dari separuh pernikahan kandas di periode lima tahun pertama.
Awalnya saya berpikir menikah itu sekali seumur hidup saja. Makanya saya demikian pilih-pilih menjatuhkan pilihan pasangan hidup. I want to get marry with the one till the end of time. Begitu pikir saya. Tapi, ternyata konsep perjodohan tidak sesimpel itu. Karena saya juga membaca ada fenomena bercerai di sekitar saya, beberapa nabi seperti Ismail as bahkan dikunjungi oleh sang ayahanda Ibrahim as sekian lama setelah ditinggal di tengah padang pasir untuk membimbing ihwal mengganti pasangannya.
Saya pernah mendengar kisah tentang seorang wali songo yang dihampiri oleh seorang perempuan shalihah yang melamarnya untuk bersedia dijadikan suami. Sang waliyullah menolak sambil berkata, “Kamu memang jodohku, tapi bukan di dunia ini melainkan di alam nanti.”
Untuk melengkapi khazanah perjodohan, coba amati hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra berikut:
Suatu hari Rasulullah –saw- masuk menemui Khadijah, istri beliau yang tengah sakit yang membawa kepada kewafatannya.
Beliau –saw- berkata kepada istrinya, “Wahai Khadijah, jika engkau bertemu dengan wanita-wanita yang menjadi madumu, sampaikan salaam kepada mereka dariku.”
Khadijah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau pernah menikah sebelumku?”
Beliau –saw- menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah telah menikahkan aku dengan Maryam binti Imran, Asiyah binti Muzahim dan Kultsum saudara perempuan Musa –as-“
Nah, mind blowing kan? Rasulullah –saw- telah Allah nikahkan dengan Siti Maryam, ibunda Isa al-Masih –as, Asiyah salah seorang istri Fir’aun dan Kultsum atau Miryam yang merupakan kakak perempuan Musa as.
Menikah dimana? Bukankah mereka semua tidak hidup sezaman dengan Rasulullah? Ya menikah di alam lain. Alam jiwa. Ini membawa kita kepada sebuah kesadaran bahwa ada realita lain di balik alam dunia yang kita kerap dibuat pontang-panting di dalamnya.
Saya jadi merenung, betapa rumitnya membaca takdir jika tanpa ada panduan dari-Nya. Seseorang bisa saja berjodoh dengan pasangan yang menyakitinya bahkan setara Fir’aun sekalipun seperti Asiyah ra. Tapi jika dijalani dengan sabar dan syukur, ternyata bisa jadi diganjar dengan mendapat pasangan yang lain di akhirat. I mean, lihatlah Asiyah yang mulia itu, kesabaran dan keteguhan imannya Allah ganjar dengan dinikahkan kepada manusia termulia, Muhammad –saw-. Masya Allah.
Informasi hadits di atas betul-betul mengubah cara pandang saya terhadap pernikahan. Tadinya saya ingin pernikahan yang sempurna, “sakinah- ma waddah wa rahmah” dalam versi waham saya. Ternyata Allah mengajarkan dengan cara lain. Akhirnya saya sadar bahwa kesempurnaan pernikahan itu bukan terletak pada fenomenanya. Tapi pada penerimaan kita dan keberserahdirian pada takdir-Nya. Keadaan pasangan yang ada diterima dan dijalani dulu apa adanya. Adalah mudah untuk menyerah dan bercerai, everybody can do that. Tapi untuk bertahan di dalam situasi rumah tangga yang seperti duduk di atas bara kemudian hati kita dibuat merasa nyaman bisa sambil nyeruput kopi dan berkarya saat menjalaninya. Itulah surga.
Kalaupun memang tak bisa lagi dipertahankan, itu masalah lain. Dan kalau pun skenario itu yang terjadi, Allah memberi janji dalam Al Quran, “Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya.” QS An Nisaa [4]: 130.
Akhirnya saya mulai memahami pernikahan sebagai sebuah peribadatan yang harus diletakkan dalam kerangka keberserahdirian, seperti halnya ibadah yang lain. Rumah tangga yang nampaknya harmonis tapi tidak membawa pasangan itu kepada keberserahdirian dan malah terlena oleh dunia bagi saya lebih membahayakan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Artinya apapun keadaan dunia kita seharusnya satu parameternya, apakah itu membawa hati kita menjadi semakin dekat kepada-Nya? Semakin berserah diri kepada-Nya? Semakin tawakal kepada-Nya? Semakin takjub kepada-Nya? Semakin merindu-Nya? Semakin ingin berjumpa dengan-Nya?
Jika Allah yang menjadi sasaran pandang kita, maka gejolak dunia sepanas apapun tak akan terasa. Karena Allah yang menjaga diri kita. Seperti Ibrahim as yang dibakar dalam kobaran api yang besar dan Allah berfirman kepada sapi, “Wahai api, menjadi dinginlah!” Demikianpun api kehidupan dan ujian dalam rumah tangga yang orang lain lihat demikian menyiksa tapi hati kita mampu menjalaninya.
Saya jadi ingat kisah seorang ibu yang suaminya berselingkuh tiga tahun lamanya dengan orang lain hingga terinfeksi HIV/AIDS. Dan orang lain itu bukan perempuan pula, tapi seorang laki-laki. Hebatnya sang ibu tetap mau mempertahankan rumah tangganya, justru karena merasa iba dengan laki-laki yang menyakiti hatinya itu. Dia tahu suaminya walaupun demikian perilakunya, sangat dekat dengan anak-anak dan bahwa perceraian hanya akan membuat dia semakin hancur. Akhirnya mereka mencoba melanjutkan lagi pernikahan yang telah terkoyak. Mencoba menambal kerusakan bersama. Sang istri berdoa siang dan malam. Akhirnya suami pun insaf dan setiap malam shalat taubat. Allahu Akbar! Kesabaran sang istri menjadi jalan hidayah untuk suaminya.
Begitulah, sekali lagi tidak mudah membaca dinamika sebuah pernikahan. Ia adalah bagian dari Grand Design dari Sang Maha Kuasa. Jangankan membaca pernikahan orang lain, membaca pernikahan diri dan keadaan diri sendiri saja kita masih tergagap-gagap. So, please quit judging other people’s marriage.
Akan tetapi indahnya, ketidakberdayaan itu membawa kita kepada sebuah keadaan faqir yang mutlak – jika kita mau menyadarinya. Dan itu pada hakikatnya adalah sebuah tangga mi’raj menuju-Nya. Di setiap takdir yang Dia letakkan di hari ini adalah anak tangga untuk lebih mendekat dan mengenal-Nya. So, just enjoy the ride, no matter how bumpy the road is 😉;)
No comments:
Post a Comment