Catatan Kajian Suluk Online, 25 Juni 2020
TASBIH MERETAS JALAN MENUJU SHIRAATHAL
MUSTAQIIM
Bertahun-tahun kita melakukan shalat dan
melayangkan sebaris doa “Ihdina shiraathal mustaqiim” (tunjukkanlah aku kepada
jalan yang lurus). Akan tetapi apakah kita sudah merasa ditunjuki dan makin
mendekat kepada shiraathal mustaqiim?
Tulisan ini tidak akan mengupas lebih jauh
tentang apa itu shiraathal mustaqiim. Akan tetapi kita akan menyoroti sebuah
tahapan yang ada di dalam Al Quran agar kita ditunjuki shiraathal mustaqiim.
Tahapan itu adalah “bunuhlah dirimu atau keluar dari kampungmu” (QS An Nisaa
[4]: 66) sebagai rangkaian awal dari ayat 69 yang kemudian menyatakan “dan
pasti Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.”
Secara sekilas yang dinamakan “shiraathal
mustaqiim” adalah jalan kebahagiaan yang hakiki dari setiap manusia. Ia adalah
urat jalan yang sangat halus yang sangat sulit ditemukan tanpa pertolongan
Allah. Dengan kata lain, selama seseorang masih belum kokoh berpijak dalam
shiraathal mustaqiim-nya masing-masing maka selama itu juga hidupnya masih
belum mencapai kedamaian yang hakiki, jika saja ia mau jujur mendengarkan kata
hatinya yang cenderung mencari Allah melalui jalan tersebut. Hanya saja manusia
biasanya menutupi kegalauan hatinya ini dengan berbagai upaya kesenangan dunia
dan pencapaian-pencapaian duniawi yang berfungsi tak lain bagaikan obat yang
bersifat simptomatik semata. Menghilangkan gejala sesaat tapi tak pernah
menyembuhkan akar penyakitnya.
Setelah bertahun-tahun merasa doa “ihdina
shiraathalm mustaqiim” tidak dijawab. Jangan keburu menyalahkan Allah, karena
bisa jadi kita tidak paham persyaratan turunnya sebuah petunjuk menuju
shiraathal mustaqiim adalah dengan “membunuh diri atau keluar dari kampung
halaman”. Keduanya mensyaratkan sebuah keberserahan diri yang absolut. Sebelum
seseorang bersedia menyerahkan diri, kehidupan, masa depan, cita-cita, dan
segala kemanusiaan kepada Rabbul ‘alamiin maka praktis tidak ada gunanya ia
diberikan hujan petunjuk sekalipun. Karena tanpa keberserahdirian, kesediaan
untuk diatur dalam pengaturan Ilahiyah, maka semua petunjuk yang hadir akan
sia-sia.
Disini kita betul-betul belajar membumikan
tasbih yang sering kita ucapkan di tataran lisan agar ia diserap dalam
karakter, perilaku, cara pandang dan keseharian kita. Tasbih (subhanallah)
adalah dzikir yang bermakna mensucikan-Nya dari segala hal yang tidak layak
bagi-Nya. Secara bahasa “as-sabh” bermakna “kosong”, sedangkan “sabaha” artinya
mengalir. Dalam sebuah hadits Rasulullah pernah berjalan menuruni sebuah bukit
dan beliau SAW mengucapkan tasbih dalam sebuah medan yang menurun, mengalirkan
diri dalam tarikan gravitasi.
Istilah “work with flow” pada prinsipnya
adalah sebuah tasbih, karena kita mencoba mengalir sesuai dengan aliran takdir
kehidupan, tidak berontak atau mencoba berenang di arah yang berlawanan dengan
aliran sungai. Sesuatu bisa mengalir mengikuti arus seperti daun yang jatuh
terbawa arus sungai, karena ia tidak mengeluarkan daya untuk berenang sendiri.
Ada sebuah nuansa “kematian” dan kekosongan dalam sebuah keberaliran, karena
selama seseorang sulit untuk mati dari ego dan agenda pribadi akan sulit untuk
bisa mengalir dalam desain kehidupan terbaik yang Allah persiapkan untuknya.
Maka perintah “membunuh diri” erat
kaitannya dengan tegaknya kualitas tasbih dalam diri kita. Yang dibunuh tentu
bukan jasad secara fisik, karena itu malah menyalahi kaidah agama. Tetapi yang
dibunuh adalah kekuatan dan dominansi hawa nafsu dalam diri kita. Agar
dengannya sang jiwa bisa kembali bertahta di dalam diri dan mengendalikan jasad
beserta seluruh komponen diri dalam tuntunan-Nya.
Mensucikan-Nya dalam ribuan tasbih yang
diucapkan tentu tidak akan menambah seatom pun kesucian Allah Sang Quddus, Dzat
Yang Maha Suci. Jika demikian apa maksud dipanjatkannya dzikir-dzikir termasuk
tasbih yang Rasulullah ajarkan kita untuk melakukannya setidaknya setiap habis
shalat? Siapa yang sedang disucikan disini, jika ternyata trilyunan tasbih pun
tak memiliki efek menambah derajat kesucian-Nya? Maka pada hakikatnya manusia
lah yang sedang disucikan melalui dzikir kepada-Nya dan segenap takdir yang
berfungsi mensucikan, karena seiring dengan makin dekat seseorang kepada-Nya,
semakin ingin mengenal-Nya, semakin timbul rasa rindu kepada-Nya, semakin ingin
mengenal-Nya maka tingkat kesucian hatinya pun akan otomatis meningkat.
Kemudian, jika aspek “rasa” ubudiyah ini
mulai timbul dan makin menguat maka itu bagaikan wadah yang semakin siap untuk
menerima limpahan air dari langit. Air itu adalah petunjuk Ilahiyah. Dan
petunjuk yang kita cari itu adalah agar kita menemukan shiraathal mustaqiim
itu. Wallahu’alam[]
No comments:
Post a Comment