Thursday, June 13, 2019


Kita terlahir ke dunia ini tidak memilih dihadirkan dari orang tua yang mana. It’s all given. Itu adalah bagian dari qadha (ketetapan) Allah yang disematkan kepada jiwa kita. Karena Sang Maha Pencipta yang mendesain seluruh kehidupan, tentu Dia yang paling mengetahui dari alam orang tua yang mana jiwa kita akan meraih pertumbuhan yang optimal.

Yang harus kita maklumi adalah orang tua kita tentu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ada yang kuat karakternya, ada yang lemah; ada yang sabar dan ada pula yang bersumbu pendek; ada yang tekun ada pula yang mudah patah. Semua karakter itu bagaimanapun akan mewarnai karakter jasad sebagai kendaraan yang digunakan oleh jiwa dalam ia menempuh kehidupan di alam mulk. Sebagaimana ada beberapa penyakit yang secara genetik diturunkan. Maka ada pula beberapa sayyiah (potensi keburukan) yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Ini bukan berarti dosa yang diturunkan. Karena masalah dosa itu masalah masing-masing orang dengan Allah Ta’ ala. Demikian pun setiap bayi yang dilahirkan ke dunia ini adalah suci, fitrah dan jiwanya dalam keadaan jiwa muthmainnah. Akan tetapi sejalan dengan waktu, sifat-sifat buruk orang tua yang ditampilkan akan otomatis diserap oleh anak. Ini salah satu yang dimaksud Rasulullah saw dengan hadits,

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR Ath Thabrani)

Dengan demikian bagaimanapun batu ganjalan pertama jiwa dalam perjalanannya kembali menuju Allah adalah dimulai dari orang tuanya yang kemudian akan membentuk persona diri yang palsu. Sedemikian rupa jiwa yang tadinya muthmainnah beranjak menjadi jiwa yang lupa dirinya dan diliputi oleh keburukan (nafs amarah bi su’ ).

Ciri jiwa amarah adalah jiwa yang terombang-ambing dalam riak kehidupan, jiwa yang mudah marah jika ia merasa ada yang tidak pas, jiwa yang menyalahkan keadaan atau orang lain, jiwa yang senantiasa pandangannya keluar dibanding melakukan introspeksi dari setiap persoalan yang ada. Selama manusia jiwanya masih berwatak amarah maka ia akan sulit menangkap petunjuk Ilahiyah, yang ada ia hanya akan terlunta-lunta dari satu bisikan nafsu yang satu kepada bisikan nafsu yang lain. Ia bisa jadi terlihat sukses dalam pandangan manusia banyak, akan tetapi jiwanya kosong, maka ia hanya menggelandang dari satu kesenangan dunia kepada kesenangan lain yang tak akan pernah bisa memuaskan dahaga jiwanya yang hanya bisa terpuaskan dengan cara mendekat kepada Allah Ta’ ala.

Adalah kehendak Allah untuk memilih seorang hamba untuk tergerak menapaki jalan kembali kepada-Nya. Biasanya ada penanda penting dalam kehidupan yang kemudian menjadi titik balik yang mengubah orientasi hidupnya. Sebuah guncangan yang membuat dia berpikir kembali tentang makna kehidupan. Bisa jadi tubuhnya dibuat sakit, rumah tangganya dihancurkan, bisnisnya kolaps, kehilangan pekerjaan, kehilangan seseorang yang dicintai dsb. Hal-hal yang mencengkram dia dalam kehidupan dan membuat dia menjerit kepada Yang Maha Kuasa. Itulah saat sang hamba ditarik kembali menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Agar ia selamat dunia dan akhirat.

Dengan demikian takdir kehidupan kita masing-masing sungguh merupakan wahana yang terbaik bagi jiwa agar ia bertumbuh. Jiwa yang tumbuh adalah jiwa yang akalnya mulai mengangkasa. Bergerak dari fu’ ad hingga lubbaab. Dalam Al Quran hanya orang yang memiliki akal tingkat lubb (ulil albab) yang bisa berkata “ Rabbana maa khalaqta haadzaa baathilaa” (QS Ali Imran : 191). Bersaksi dari hati yang terdalam bahwa seluruh rangkaian takdir-Nya tidak ada cacat sedikitpun di dalamnya. Dengannya ia berbahagia dengan apapun yang Dia berikan. Karena Allah hanya memberikan yang terbaik. Hanya yang terbaik. Insya Allah. []

No comments:

Post a Comment