Kita terlahir ke dunia ini tidak memilih dihadirkan dari
orang tua yang mana. It’s all given. Itu adalah bagian dari qadha (ketetapan)
Allah yang disematkan kepada jiwa kita. Karena Sang Maha Pencipta yang
mendesain seluruh kehidupan, tentu Dia yang paling mengetahui dari alam orang
tua yang mana jiwa kita akan meraih pertumbuhan yang optimal.
Yang harus kita maklumi adalah orang tua kita tentu punya
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ada yang kuat karakternya, ada yang
lemah; ada yang sabar dan ada pula yang bersumbu pendek; ada yang tekun ada
pula yang mudah patah. Semua karakter itu bagaimanapun akan mewarnai karakter
jasad sebagai kendaraan yang digunakan oleh jiwa dalam ia menempuh kehidupan di
alam mulk. Sebagaimana ada beberapa penyakit yang secara genetik diturunkan.
Maka ada pula beberapa sayyiah (potensi keburukan) yang diturunkan dari orang
tua kepada anaknya. Ini bukan berarti dosa yang diturunkan. Karena masalah dosa
itu masalah masing-masing orang dengan Allah Ta’ ala. Demikian pun setiap bayi
yang dilahirkan ke dunia ini adalah suci, fitrah dan jiwanya dalam keadaan jiwa
muthmainnah. Akan tetapi sejalan dengan waktu, sifat-sifat buruk orang tua yang
ditampilkan akan otomatis diserap oleh anak. Ini salah satu yang dimaksud
Rasulullah saw dengan hadits,
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua
orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR Ath Thabrani)
Dengan demikian bagaimanapun batu ganjalan
pertama jiwa dalam perjalanannya kembali menuju Allah adalah dimulai dari orang
tuanya yang kemudian akan membentuk persona diri yang palsu. Sedemikian rupa
jiwa yang tadinya muthmainnah beranjak menjadi jiwa yang lupa dirinya dan diliputi
oleh keburukan (nafs amarah bi su’ ).
Ciri jiwa amarah adalah jiwa yang
terombang-ambing dalam riak kehidupan, jiwa yang mudah marah jika ia merasa ada
yang tidak pas, jiwa yang menyalahkan keadaan atau orang lain, jiwa yang
senantiasa pandangannya keluar dibanding melakukan introspeksi dari setiap
persoalan yang ada. Selama manusia jiwanya masih berwatak amarah maka ia akan
sulit menangkap petunjuk Ilahiyah, yang ada ia hanya akan terlunta-lunta dari
satu bisikan nafsu yang satu kepada bisikan nafsu yang lain. Ia bisa jadi
terlihat sukses dalam pandangan manusia banyak, akan tetapi jiwanya kosong,
maka ia hanya menggelandang dari satu kesenangan dunia kepada kesenangan lain
yang tak akan pernah bisa memuaskan dahaga jiwanya yang hanya bisa terpuaskan
dengan cara mendekat kepada Allah Ta’ ala.
Adalah kehendak Allah untuk memilih seorang hamba untuk
tergerak menapaki jalan kembali kepada-Nya. Biasanya ada penanda penting dalam
kehidupan yang kemudian menjadi titik balik yang mengubah orientasi hidupnya. Sebuah
guncangan yang membuat dia berpikir kembali tentang makna kehidupan. Bisa jadi
tubuhnya dibuat sakit, rumah tangganya dihancurkan, bisnisnya kolaps, kehilangan
pekerjaan, kehilangan seseorang yang dicintai dsb. Hal-hal yang mencengkram dia
dalam kehidupan dan membuat dia menjerit kepada Yang Maha Kuasa. Itulah saat
sang hamba ditarik kembali menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Agar ia selamat
dunia dan akhirat.
Dengan demikian takdir kehidupan kita masing-masing sungguh
merupakan wahana yang terbaik bagi jiwa agar ia bertumbuh. Jiwa yang tumbuh
adalah jiwa yang akalnya mulai mengangkasa. Bergerak dari fu’ ad hingga
lubbaab. Dalam Al Quran hanya orang yang memiliki akal tingkat lubb (ulil
albab) yang bisa berkata “ Rabbana maa khalaqta haadzaa baathilaa” (QS Ali
Imran : 191). Bersaksi dari hati yang terdalam bahwa seluruh rangkaian
takdir-Nya tidak ada cacat sedikitpun di dalamnya. Dengannya ia berbahagia
dengan apapun yang Dia berikan. Karena Allah hanya memberikan yang terbaik.
Hanya yang terbaik. Insya Allah. []
No comments:
Post a Comment