Apakah nikmat itu?
Kita bisa membayangkan berbagai
hal yang menyenangkan dalam mendefinisikan sebuah nikmat. Tapi ketika kata “
nikmat” disandingkan dalam doa sakral yang dipanjatkan saat kita beraudiensi
dengan Sang Maha Pencipta di dalam shalat. Dugaan saya adalah kata “ nikmat” tersebut
pastinya memiliki kedalaman arti yang lain, melebihi kenikmatan jasadiyah.
Penelusuran ini dimulai dengan menelaah
apa itu definisi Shiraathal Mustaqiim, sebuah jalan lurus menuju Tuhan yang
sering diidentifikasikan dengan sebuah jalan bagaikan titian rambut dibelah
tujuh, untuk menggambarkan betapa tidak mudahnya berjalan menuju Tuhan. Tapi
kenapa menjadi tidak mudah? Apakah Tuhan jual mahal? Rasanya sifat itu tidak
mungkin ada dari Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu kenapa jalan
menuju-Nya menjadi tidak mudah sehingga tidak banyak yang bisa menapakinya?
Lalu, siapa yang Allah
identifikasi sebagai golongan yang ada di shiraathal mustaqiim? QS Al Fatihah
memberikan penjelasannya sendiri di ayat ketujuh, “ Yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat (an’ amta), bukan jalan mereka yang dimurkai
(maghdub) dan bukan pula jalan mereka yang sesat (dhaaliin).
“An’ amta” , jalan mereka yang
diberi nikmat. Mari kita telaah lebih dalam disini. Di dalam konkordansi Al
Quran hanya ada empat kali penyebutan kata yang persis “ an’ amta” . Satu ayat
di QS Al Fatihah ayat tujuh yang berkaitan dengan shiraathal mustaqiim. Dua
ayat berkaitan dengan syukur dan doa usia empat puluh tahunan (QS [27]: 19
& [46]: 15). Dan satu ayat berkaitan dengan doa Musa as ketika ia terkena
musibah secara tidak sengaja membuat nyawa seseorang melayang, sebuah titik
balik yang membuat ia keluar dari negeri Mesir dan membuatnya dipertemukan
dengan Nabi Syu’aib as yang kemudian memandunya hingga bertemu diri.
Kalau dilihat dari predikat
shiraathal mustaqiim sebagia jalan yang sulit sekali ditempuh kecuali oleh
orang yang mendapat pertolongan Allah, maka bisa dibaca empat ayat yang saling
berkait melalui kata kunci “ an’amta” (mereka yang diberi nikmat) itu saling
menjelaskan satu sama lain.
Kita menggunakan logika
matematika sederhana berikut:
Jika A = B dan B = C, maka A = C
Maka, jika shiraathal mustaqiim
adalah jalan orang-orang yang diberi nikmat (QS [1]: 7) dan kenikmatan
berkaitan dengan kebersyukuran (QS [27]: 19 & [46]: 15), maka dengan kata
lain shiraathal mustaqiim adalah jalan kebersyukuran itu sendiri.
Syukur adalah kata-kata yang besar,
sesuatu yang paling dicegah oleh Iblis hingga ia bersumpah untuk mencegah
manusia agar tidak menjadi orang yang bersyukur, dalam dalam sumpahnya sang
iblis sendiri yang mengaitkan syukur dengan shiraathal mustaqiim.
“(Iblis menjawab), “ Karena Engkau telah
menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari shiraathal
mustaqiim, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang,
dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur.”
Shiraathal mustaqiim adalah
sebuah jalan yang lurus. Dalam ilmu geometri, garis lurus adalah jarak terdekat
antara dua buah titik. Dua titik itu adalah Allah dan para hamba-Nya, yang jika
kedua titik itu sejajar akan terbentuk sebuah garis lurus. Sebuah garis arah vertikal
yang tidak tersentuh oleh iblis. Persis seperti arah dimana ubun-ubun yang
digenggam oleh Sang Penguasa.
“ Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah
Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satu pun makhluk bergerak (dabbah) melainkan Dialah
yang memegang ubun-ubunnya. Sungguh, Tuhanku di atas shiraathal mustaqiim.” (QS Huud [11]: 56)
Dengan demikian sebetulnya kita
setiap saat berada di atas shiraathal mustaqiim, jika mau berserah diri total
dalam pengaturan-Nya. Akan tetapi kenyataannya hal ini tidak mudah karena hawa
nafsu dan syahwat seringnya meronta, ingin kehidupan yang seperti ini, ingin
jodoh seperti itu, malu dengan pekerjaan yang ini, meronta dengan ujian yang
itu, khawatir tidak cukup, takut dikhianati, ingin dipandang baik di hadapan
manusia dan lain-lain yang tak lain berupa tarikan dari depan, belakang, kiri
dan kanan yang diorkestrasi oleh Iblis dan pasukannya dengan memanfaatkan bahan
potensi hawa nafsu dan syahwat yang belum berserah diri di dalam diri setiap
manusia.
Oleh karenanya nikmat yang kita mohonkan
setidaknya 17 kali dalam sehari itu adalah untuk mengembalikan dan meneguhkan
kita dalam garis lurus optimal kita
dalam berhadapan dengan-Nya, sebuah shiraathal mustaqiim yang merupakan jalan
kebersyukuran yang harus ditempuh dengan terlebih dahulu menembus tembok
penghalang di dalam diri. Karena pada dasarnya jalan suluk ini adalah sebuah
jalan panjang untuk menaklukkan ego diri sendiri yang telah demikian menggurita
tanpa kita sadari. Hasbunallah wani’mal wakiil ni’ mal mawlaa wa ni’ mannasiir.
“ Cukuplah ALLAH sebagai penolong kami, dan ALLAH
adalah sebaik-baik pelindung”.
No comments:
Post a Comment