Thursday, June 27, 2019


Apakah nikmat itu?

Kita bisa membayangkan berbagai hal yang menyenangkan dalam mendefinisikan sebuah nikmat. Tapi ketika kata “ nikmat” disandingkan dalam doa sakral yang dipanjatkan saat kita beraudiensi dengan Sang Maha Pencipta di dalam shalat. Dugaan saya adalah kata “ nikmat” tersebut pastinya memiliki kedalaman arti yang lain, melebihi kenikmatan jasadiyah.

Penelusuran ini dimulai dengan menelaah apa itu definisi Shiraathal Mustaqiim, sebuah jalan lurus menuju Tuhan yang sering diidentifikasikan dengan sebuah jalan bagaikan titian rambut dibelah tujuh, untuk menggambarkan betapa tidak mudahnya berjalan menuju Tuhan. Tapi kenapa menjadi tidak mudah? Apakah Tuhan jual mahal? Rasanya sifat itu tidak mungkin ada dari Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu kenapa jalan menuju-Nya menjadi tidak mudah sehingga tidak banyak yang bisa menapakinya?

Lalu, siapa yang Allah identifikasi sebagai golongan yang ada di shiraathal mustaqiim? QS Al Fatihah memberikan penjelasannya sendiri di ayat ketujuh, “ Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat (an’ amta), bukan jalan mereka yang dimurkai (maghdub) dan bukan pula jalan mereka yang sesat (dhaaliin).

“An’ amta” , jalan mereka yang diberi nikmat. Mari kita telaah lebih dalam disini. Di dalam konkordansi Al Quran hanya ada empat kali penyebutan kata yang persis “ an’ amta” . Satu ayat di QS Al Fatihah ayat tujuh yang berkaitan dengan shiraathal mustaqiim. Dua ayat berkaitan dengan syukur dan doa usia empat puluh tahunan (QS [27]: 19 & [46]: 15). Dan satu ayat berkaitan dengan doa Musa as ketika ia terkena musibah secara tidak sengaja membuat nyawa seseorang melayang, sebuah titik balik yang membuat ia keluar dari negeri Mesir dan membuatnya dipertemukan dengan Nabi Syu’aib as yang kemudian memandunya hingga bertemu diri.

Kalau dilihat dari predikat shiraathal mustaqiim sebagia jalan yang sulit sekali ditempuh kecuali oleh orang yang mendapat pertolongan Allah, maka bisa dibaca empat ayat yang saling berkait melalui kata kunci “ an’amta” (mereka yang diberi nikmat) itu saling menjelaskan satu sama lain.

Kita menggunakan logika matematika sederhana berikut:

Jika A = B dan B = C, maka A = C

Maka, jika shiraathal mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi nikmat (QS [1]: 7) dan kenikmatan berkaitan dengan kebersyukuran (QS [27]: 19 & [46]: 15), maka dengan kata lain shiraathal mustaqiim adalah jalan kebersyukuran itu sendiri.

Syukur adalah kata-kata yang besar, sesuatu yang paling dicegah oleh Iblis hingga ia bersumpah untuk mencegah manusia agar tidak menjadi orang yang bersyukur, dalam dalam sumpahnya sang iblis sendiri yang mengaitkan syukur dengan shiraathal mustaqiim.

“(Iblis menjawab), “ Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari shiraathal mustaqiim, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

Shiraathal mustaqiim adalah sebuah jalan yang lurus. Dalam ilmu geometri, garis lurus adalah jarak terdekat antara dua buah titik. Dua titik itu adalah Allah dan para hamba-Nya, yang jika kedua titik itu sejajar akan terbentuk sebuah garis lurus. Sebuah garis arah vertikal yang tidak tersentuh oleh iblis. Persis seperti arah dimana ubun-ubun yang digenggam oleh Sang Penguasa.

“ Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satu pun makhluk bergerak (dabbah) melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sungguh, Tuhanku di atas shiraathal mustaqiim.” (QS Huud [11]: 56)

Dengan demikian sebetulnya kita setiap saat berada di atas shiraathal mustaqiim, jika mau berserah diri total dalam pengaturan-Nya. Akan tetapi kenyataannya hal ini tidak mudah karena hawa nafsu dan syahwat seringnya meronta, ingin kehidupan yang seperti ini, ingin jodoh seperti itu, malu dengan pekerjaan yang ini, meronta dengan ujian yang itu, khawatir tidak cukup, takut dikhianati, ingin dipandang baik di hadapan manusia dan lain-lain yang tak lain berupa tarikan dari depan, belakang, kiri dan kanan yang diorkestrasi oleh Iblis dan pasukannya dengan memanfaatkan bahan potensi hawa nafsu dan syahwat yang belum berserah diri di dalam diri setiap manusia.

Oleh karenanya nikmat yang kita mohonkan setidaknya 17 kali dalam sehari itu adalah untuk mengembalikan dan meneguhkan kita dalam  garis lurus optimal kita dalam berhadapan dengan-Nya, sebuah shiraathal mustaqiim yang merupakan jalan kebersyukuran yang harus ditempuh dengan terlebih dahulu menembus tembok penghalang di dalam diri. Karena pada dasarnya jalan suluk ini adalah sebuah jalan panjang untuk menaklukkan ego diri sendiri yang telah demikian menggurita tanpa kita sadari. Hasbunallah wani’mal wakiil ni’ mal mawlaa wa ni’ mannasiir. Cukuplah ALLAH sebagai penolong kami, dan ALLAH adalah sebaik-baik pelindung”.

No comments:

Post a Comment