Monday, February 14, 2022

 Terjebak Ilusi


Dunia ini medan ilusi yang kuat sekali. Hanya akal yang kuat bisa menembusnya, dengan pertolongan Allah. Sejarah menunjukkan berabad-abad manusia terjebak dalam ilusi bahwa dunia itu datar, atau bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Karena memang fenomena itu yang sepertinya dipersepsi oleh indera yang terbatas.


 Dulu belum ada teknologi teleskop atau bahkan pesawat ulang-alik luar angkasa atau para ilmuwan yang bisa menemukan bahwa bumi adalah bagian dari konstelasi planet-planet lain di dalam Galaksi Bimasakti. Sekarang kita bisa tertawa kalau ada orang yang mengatakan bumi datar atau meyakini bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Karena kita sudah belajar fakta yang sesungguhnya. 


Masalahnya, ilusi yang mirip masih bisa memerangkap kita. Ilusi apa itu? Ilusi bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi hajat hidup kita dan keluarga adalah dengan memiliki sumber penghidupan yang layak. Dan yang dimaksud layak secara praktis diterjemahkan sebagai ingin memiliki penghasilan atau gaji yang besar. Kenapa? Karena syahwat tak berdaya begitu dihadapkan dengan gaji yang kurang dari 3 juta rupiah per bulan. Inginnya 10 juta, atau sekalian saja 20 juta per bulan agar lebih leluasa atau bahkan lebih, tidak akan ada batasnya jika ingin mengikuti hawa nafsu dan syahwat.

 

Lantas, apakah salah memiliki keinginan punya penghasilan sejumlah itu? Tidak salah. It’s legit. Pasti kita bisa menyodorkan argumen-argumen yang valid berupa pos-pos pengeluaran yang dibutuhkan dan bahkan yang diidamkan. 


But…what if I tell you that having a steady paycheck and regular income to support our livelihood is just another illusion that our mind or our socieaty has created? 

Bagaimana kalau saya katakan bahwa Allah itu punya cara yang tak terhingga untuk memberi rezeki hamba-hamba-Nya tanpa harus dibatasi skema gaji tetap, keuntungan dan hal yang material? Apakah Allah sedemikian tak berdaya memenuhi setiap hajat kebutuhan ciptaan-Nya – sementara kita setiap shalat menyeru “Allahu Akbar” –katanya Allah Maha Besar tapi pada kenyataannya jika dihadapkan dengan kesempitan rezeki dan kesulitan mencari kasab rasanya kita lebih sibuk mencari jalan keluar yang bersifat horizontal, meminjam kira dan kanan, gali lubang, tutup lubang, mendekati si anu bahkan kalau perlu ngedukun. 


Kok Allah seakan tak berkutik mengurus sekadar penghidupan kita dan keluarga dan disebut nama-Nya sebagai penghias shalat yang tampaknya hanya berfungsi sekadar menggugurkan kewajiban saja. So we’re less feel guilty about it. Atau karena sudah biasa shalat. Atau malu kalau tidak shalat. Social pressure.


Kenapa kita harus mendikte Allah bahwa agar keluarga dan anak-anak kita terjamin masa depan dan kebahagiaannya harus sekolah di sekolah yang itu, harus punya rumah yang itu, punya pekerjaan yang itu. How do we know that our scenario is the best scenario?

Pernahkah terpikir bahwa sebenarnya Allah sudah punya rencana untuk kita semua. Ada alasannya semua disegel di Lauh Mahfuzh (kalau kita betul-betul mengimaninya). Bahwa tinta ciptaan telah kering. Karena Dia sudah menjaminkan rezeki setiap ciptaan. Rezeki yang sangat berlimpah tapi sayangnya banyak orang berakhir kehidupannya bahkan tak bisa mengisi penuh kantung rezeki yang telah disiapkan.  Almarhum Mursyid saya mengeluarkan angka presisi untuk ini, yaitu jumlahnya tak melebihi 1/10 bagian saja. Dan rezeki yang dimaksud adalah rezeki yang lahir batin.


Lantas, apa yang salah? Barangkali selama ini kita terjebak ilusi itu tadi. Ilusi sudah benar beragama. Ilusi sebuah makna kesuksesan. Ilusi tentang what is good life is all about. Kita lantas meminta hal-hal yang berdasarkan alam ilusi kita. Minta gaji x juta rupiahlah, minta posisi ini dan itu, minta keadaan yang itu lalu pontang-panting mengandalkan diri dan kehidupannya dalam mengejar itu. Tuhan hanya nama yang muncul dalam sebuah siulan sesaat saat shalatnya yang bagai kilat itu. Itupun mending masih shalat.


Kasihan sebenarnya manusia yang terjebak ilusi itu. Siang malam dia terjebak dalam dunia ilusi dan dia pikir dia hidup di dalamnya, tapi jiwanya tak bergerak kemana-mana. Diam membeku. Tak akan paham tentang kebenaran. Selalu akan merasakan kekosongan dalam hatinya. Sebuah kekosongan khas dunia ilusi yang tak akan dapat dipuaskan dengan elemen yang sama dari dunia ilusi yang berupa pangkat tinggi, gelar mentereng, berbagai barang mewah, you name it : mobil Bugatti la voiture noire, jam tangan Patek Phillipe, tas Hermès Kelly Rose Gold  dll. Semua itu hanya mendatangkan kesenangan sesaat. Ya, kesenangan bukan kebahagiaan. And yet many people mistakenly think pleasure as happiness. 


Lalu bagaimana agar bisa keluar dari dunia ilusi? Or, can we ever get out of this world of illusion?


Oh yes you can (and no, I am not part of Obama’s campaign team) but you have to have the courage to take the red pill (remember the movie Matrix when Morpheus offered Neo to take the blue or red pill). He said, “This is your last chance. After this, there is no turning back. You take the blue pill - the story ends, you wake up in your bed and believe whatever you want to believe. You take the red pill - you stay in Wonderland and I show you how deep the rabbit-hole goes.” 


Morpheus menyebut “wonderland” dari buku anak terkenal karangan Lewis Caroll berjudul Alice in Wonderland yang mengisahkan petualangan seorang anak perempuan menjalani dunia yang sangat menakjubkan dengan fenomena yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Di wonderland, kucing dan kura-kura bisa bicara, bahkan benda-benda bisa berkata-kata dan memiliki perasaan. Singkat kata sebuah dunia dengan sebuah aturan yang tampaknya tidak logis.


Tapi di dunia ilusi ini memang bukankah tak semua bisa dipecahkan dengan logika. Dan tak mungkin semua bisa diselesaikan dengan logika. Karena daya jangkau logika itu sangat terbatas. Jika hanya mengandalkan logika, rasanya orang akan mulai berpikir 1000 kali untuk memiliki anak, sekarang biayanya semakin mahal. Jika mengandalkan logika, rasanya kakek dan nenek saya tidak bisa dulu menghidupi 12 anaknya dalam suasana pasca perang dan kehidupan ekonomi yang sangat pas-pasan. Kalau hanya menuruti logika banyak pasien divonis memiliki penyakit berat yang mestinya sudah terukir namanya di nisannya masing-masing tapi mereka masih menikmati kehidupan hingga saat ini. Begitulah banyak hal dalam hidup yang di luar jangkauan logika. Tapi tetap saja kita demikian mengandalkan hitung-hitungan logika kita yang berkata kalau tidak punya pendapatan sekian susah hidup kita, masa depan anak tak terjamin, rumah tangga akan terancam, and so on and so forth. Tak sekalipun kita bahkan melirik akan Dia Yang selalu hadir dan kuasa membuat kita melampaui semuanya. Ya, semuanya. Asal kita berani keluar dari dunia ilusi dengan menaruh logika setelah iman. And by all means take that leap of faith, take the red pill!

No comments:

Post a Comment