Tuesday, March 10, 2020
Kalau kita dikatakan masih diperbudak oleh hawa nafsu dan syahwat, pasti respon adalah awal langsung membantahnya. Karena merasa diri sudah baik. Toh sudah rajin shalat, bahkan tambah shalat-shalat sunnah. Rajin pula berpuasa sunnah. Tidak ketinggalan zakat, infaq dan shadaqah. Ditambah pulang pergi umrah dan haji ke tanah suci. Begitu dalihnya.
Ini penyakit umum banyak orang bernama “sindrom ilusi keshalihan”. Berbagai kumpulan gejala yang merasa diri sudah baik dan dijamin kandidat penghuni surga. Merasa sudah beragama dengan hanya mengerjakan semua ritual dan memakai atribut agama. Tidak salah sepenuhnya. Itu pun sudah lumayan dibanding tidak sama sekali. Seseorang bisa terjangkit “sindrom ilusi keshalihan” umumnya karena tidak mempelajari agama dengan utuh. Dikiranya agama hanya sesuatu yang nampak saja. Padahal aspek batin dalam beragama jauh lebih banyak lagi dan tak kalah pentingnya. Sebagaimana Jibril as mengajari kita tentang tiga pilar agama yang terdiri dari Islam – Iman dan Ihsan*. Satu aspek syariat yang nampak dan dua lagi justru sesuatu yang tidak nampak, seperti akar pohon yang tersembunyi dalam tanah tapi tanpa akar maka pohon tidak akan hidup.
Banyak penderita “sindrom ilusi keshalihan” tidak menyadari bahwa dirinya tengah diperbudak oleh banyak hal selain Allah, tentang keinginannya yang tak habisnya untuk menyenangkan orang tua dengan membungkam panggilan jiwanya, agar harum namanya di tengah masyarakat, agar eksis terus di masyarakat. Diperbudak oleh ketakutan dari banyak arah, takut miskin, takut anak dikatakan gagal, takut pasangan berpaling ke lain hati, takut pekerjaan hilang dll. Diperbudak oleh kelemahan diri seperti pemarah, pemalas, pendengki, pendusta dll.
Maka, sebuah rahmat atau pertolongan Allah sebenarnya ketika seseorang ditampakkan keburukan dirinya. Kadang secara demonstratif hingga orang lain pun bisa melihatnya dan tidak sedikit yang diam-diam. Kesadaran bahwa diri masih berlumuran dosa, penuh dengan kekurangan dan khilaf itu yang membuat manusia justru mulai menjadi manusia. Karena dengannya ia menjadi sadar bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah semata. Di titik itu, perjalanannya untuk kembali “menjadi” dan untuk sembuh dari sindrom ilusi keshalihan baru dimulai.[]
***
* “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat rasululah . Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha nabi,
• Kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.”
• Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
• Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
• Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga nabi bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Dia bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama (diin) kalian.”
— HR. Muslim no.8
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment