Dalam tasawuf dikenal empat tingkatan hijab hati, mulai dari rasa – karsa – cipta – karya. Rasa itu perasaan, karsa itu keinginan -baik yang positif atau negatif, cipta menyangkut pemikiran, sedangkan karya adalah pengamalan.
Misalnya seorang laki-laki melihat seorang perempuan, tatkala tersentuh hatinya menyukai sang wanita itu adalah tingkat rasa. Kemudian apabila rasa itu dibiarkan hingga muncul keinginan, itu karsa syahwat. Lalu apabila karsa dibiarkan semakin kuat sehingga pikirannya merancang bagaimana agar keinginan itu tercapai, maka itu adalah tingkatan cipta. Dan kalau sampai melakukan perbuatan zina maka sudah tingkat karya.
Jadi perbuatan hati itu sudah mulai sejak tingkat ‘rasa’. Oleh karena itu agama mengontrol sejak rasa.
Imam Ali kw berkata tentang melihat perempuan, “pandangan pertama itu rezeki, sedangkan yang kedua adalah fitnah”. Rasulullah saw pun bersabda “apabila engkau berhasrat sesuatu kepada wanita, maka datangilah istrimu, sesungguhnya apa yang engkau cari ada padanya”. Demikian aspek syariat membuat koridor dalam berkehidupan agar hati tertib, hingga tertiblah seluruh tubuh, tidak sembarangan dipakai tanpa aturan Sang Pencipta.
Rasa hati yang tidak tepat bisa memburamkan qalb. Maka harus banyak-banyak istighfar. Supaya tidak lanjut ke tingkat karsa apalagi karya.
Kebanyakan orang ‘menghukumi’ seseorang dari aspek ‘karya’, perbuatan yang tampak oleh mata. Perzinaan, pencurian, pembunuhan dihukumi. Akan tetapi aspek yang tiga (rasa-cipta-karya) juga tidak kalah berbahayanya dan perintah Allah sama kuatnya melarang hal yang tidak tampak ini. Yaitu jangan takabur, jangan dengki, tidak boleh bangga diri, jangan berkeluh kesah dll.
Seringkali seseorang merasa dirinya sudah beragama karena sudah melakukan semua aspek jasadiyah; sholat, shaum, zakat, naik haji. Tapi kenapa hatinya kebanyakan tetap buta? Karena ada aspek dalam yang tidak dijaga.
Maka eksistensi ilmu tasawuf dalam khazanah Islam itu sangat penting, karena tasawuf memperdalam ilmu mengolah aspek rasa karsa cipta. Orang sufi yang benar tentu juga akan mengolah karya, hingga ia tidak mungkin menyepelekan syariah. Semuanya dilakukan secara beriringan dan harmoni.
(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)
No comments:
Post a Comment