"Semakin lantang dan semakin keras Anda bicara kepada seseorang, semakin orang itu menjauh dan tidak mendengar - it's merely a psychological and physiological reflex" kata seorang pakar pendidikan dalam artikelnya yang menyeru untuk tidak teriak apalagi memaki seseorang dengan kata-kata yang menyakiti hatinya sekadar untuk menyampaikan suatu pesan. Sistem saraf manusia saat menangkap getaran suara keras akan merespon sebagai suatu ancaman yang harus dihindari, bahkan refleks tubuh pun akan membuat otot tangan berkoordinasi untuk menutup telinga. Secara psikologis kata-kata yang tajam menghunjam hati -walau disampaikan dengan berbisik sekalipun efektif membuat seseorang mengaktifkan mekanisme pertahanan diri dan berjarak secara emosional darinya alih-alih mendengar apa yang hendak disampaikan ia hanya akan sibuk membangun benteng pertahanan diri.
Teknik komunikasi yang terbukti lebih efektif dan bermanfaat baik bagi orang tua -anak, pasangan suami istri, atau di pekerjaan adalah justru dengan berkata halus, bahkan dalam simulasi ekstrem semakin seseorang menyampaikan pesan dengan suara pelan bahkan berbisik justru sang pendengar akan refleks merespon dengan memberi perhatian yang lebih.
Menyampaikan sesuatu dengan santun diseru dalam Al Quran,
"Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri (tadharu) dan suara yang lembut (khufyah). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [QS Al-A’raf[7]: 55]
Permohonan yang terdengar nyaring di langit adalah yang disampaikan dari kerendahhatian, bukan dari hati yang masih jumawa, petantang-petenteng dan ingin selalu merasa 'lebih'. Maka doa yang berasal dari nyaringnya hawa nafsu dan syahwat walau disampaikan dengan desahan sambil berurai air mata bisa jadi hanya samar-samar terdengar di langitNya. Demikian juga kalau ingin menyentuh langit jiwa seseorang sampaikanlah sesuatu dengan rendah hati dan santun, karena apa yang disampaikan dari hati terdalam akan beresonansi di hati yang lain.
Karena manusia ditakdirkan dibekali hawa nafsu dan syahwat yang harus digembalakan, maka dalam menyampaikan doa setelah 'tadharu' - merendahkan ego diri, mengendalikan syahwat dan menekan hawa nafsu- diikuti dengan 'khufyah' , Ibnu Katsir menafsirkannya dengan 'menutupi kesombongan'. Ingat kesombongan ini merupakan dosa primordial yang efektif menjatuhkan iblis dari makhluk yang paling taat yang diriwayatkan tak ada satu titik pun di alam semesta yang kecuali ia pernah bersujud diatasnya, namun dengan sombong ia menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam as, seorang insan yang diciptakan dengan 'kedua tanganNya'.
Khufyah konon juga asal kata dari kopiah atau peci yang saat ini sudah menjadi bagian dari budaya berpakaian muslim di Indonesia. Kiranya dengan memakai kopiah segala kesombongan diri yang berputar di kepala pikiran seseorang mohon ditutupi, malulah kepada Yang Memberi itu semua. Karena sesuatu yang disampaikan dari hati yang sombong dan masih meninggi hanya akan lewat di telinga namun tidak tertanam di jiwa.Wallahua'lam...
No comments:
Post a Comment