Suatu hari Rasulullah membuat suatu garis lurus di tanah sambil berkata "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau menggambar di sisi kiri dan kanannya garis-garis lain sambil menambahkan "pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu.".
Shiraathal mustaqiim yang kita mohon untuk ditunjuki ke dalamnya setidaknya 17 kali dalam sehari sesungguhnya selalu terbentang di setiap tarikan nafas seorang manusia, akan tetapi tidak banyak yang menyadari dan tertunjuki kepadanya, karena wajah sebagian besar manusia tertuju ke arah lain, kepada jalan-jalan yang diukir oleh setan yang disesuaikan dengan tabiat hawa nafsu dan syahwat masing-masing, it's a sophisticatedly personalized deceptions, sebuah selubung ilusi yang didesain dengan sangat canggih oleh iblis dan bala tentaranya, dengan izin Allah Ta'ala. Jadinya sebagian besar manusia bagaikan seorang penumpang di dalam kendaraan yang tengah melaju tapi menghadapkan dirinya ke jendela samping dan tidak mengetahui perihal jalanan yang ditempuh di hadapannya, sehingga kerap diselubungi oleh kebingungan kemana jalan hidup akan menuju, dicekam oleh ketakutan oleh sesuatu yang tidak jelas di depannya atau tenggelam oleh rasa kecewa karena menginginkan pintu tertentu dibuka padahal pintu lain telah terbuka lebar-lebar sekian lama.
Maka ihwal penghadapan wajah hati kepada-Nya ini merupakan salah satu tema sentral dalam hidup, sesuatu yang seorang hamba dilatih dalam keseharian untuk presisi mengarahkan arah dalam menentukan posisi kiblat - sebuah simbolisasi bahwa hati seharusnya tertuju kepada Allah semata. Perkara menghadapkan wajah hati ini sesungguhnya menjadi syarat sebelum seseorang pada akhirnya memproklamirkan dirinya sebagai seorang muslim sejati. Seperti tertuang dalam doa iftitah sebagai pembuka shalat:
"Inni wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal-ardha, haniifam muslimaw wamaa ana minal musyrikiin. Inna shalaati wanusukii wamah yaaya wama maatii lillaahi rabbil ‘alaamiina. Laasyariika lahu wabidzaalika umirtu wa ana minal muslimiina.”
(Ku hadapkan muka dan hatiku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan berserah diri dan aku bukanlah dari golongan kaum musrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah karena Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, demikianlah aku diperintah dan aku termasuk golongan orang-orang muslim.)
*****
Suatu saat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkisah,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هذه سبل و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau membaca,
{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya’” ([Al An’am: 153] Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya)
No comments:
Post a Comment