Salah satu sumber kecemasan orang tua adalah tentang masa depan anaknya, untuk sebagian besar kenalan saya khususnya mengenai pendidikan agama mereka. Kalau dicermati mekanisme preventif (atau kuratif) beberapa orang tua untuk memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anaknya adalah dengan bergantung sedemikian rupa pada sekolah A yang dianggap berkurikulum agama yang baik ditambah didatangkan pak ustadz untuk mengajari mereka mengaji, setiap hari kalau perlu. Tentu saja semua upaya itu adalah baik, namun yang jangan dilupakan adalah kita, orang tualah guru mereka yang pertama dan utama, anak akan lebih menyerap dan meniru perilaku orang tua dibandingkan dengan pelajaran yang mereka dengar melalui guru atau ustadz secanggih apapun.
Anak akan cenderung belajar berbohong karena melihat berulang kali orang tuanya mengajarkan bohong dengan berkata"Bilang mama/papa sedang tidak ada di rumah ya nak!" walaupun pak ustadz mengajarkan hadits dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, yang berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”
Anak akan tumbuh tidak menghargai orang yang lemah jika melihat orang tuanya kasar dan tidak hormat terhadap pembantu atau fakir miskin, walaupun pak guru menceritakan di sekolah bagaimana akhlak Rasulullah saw yang sangat lembut, tidak pernah menghardik pembantunya dan pun tidak memperbolehkan seseorang diberi pekerjaan yang melebihi kapasitasnya.
Anak tidak akan terpanggil hatinya untuk melakukan ibadah sebagai persembahan syukur kepada Allah Ta'ala karena tidak melihat contoh dari kedua orang tuanya, walaupun setiap hari pak ustadz didatangkan untuk mengajarkan tata cara sholat hingga sholat bersama.
Keluarga bagaimanapun adalah kepompong sang anak untuk dia berkembang menjadi kupu-kupu, bagaimana bentukan sayap dan perilakunya akan banyak dipengaruhi dari fase tumbuh bersama keluarganya, sebuah oase dan tempat ia lahir dan dibesarkan. Saya menyaksikan bagaimana seseorang bisa mendapatkan inspirasi yang dalam untuk tetap menyalakan bara pencarian hati kepada Allah Ta'ala sekadar mengingat sang almarhum neneknya yang dulu suka mengaji di dekatnya, almarhum kakeknya yang rajin membaca Al Quran setiap maghrib atau ayahnya yang selalu mengajak ia berjamaah shalat maghrib bersama. Persis seperti pesan mursyid saya, kewajiban setiap orang tua untuk menggoreskan sedikit kenangan spiritual yang menjejak dalam hati sanubari sang anak, sebagai bekal pencarian jati dirinya sejatinya kelak. Sang Nabi pun berpesan, "Sebaik-baik peninggalan orang tua kepada anaknya adalah akhlak yang baik." Dan bukankah beliau juga yang bersabda, "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."
Akhlak anak bagaimanapun akan terbentuk dari perilaku orang tuanya, bagaimana mereka bertutur kata, mengumbar atau menahan marah, kasar atau santun terhadap orang lain, membuang sampah sembarangan atau menjaga kebersihan, berkeluh kesah atau mencoba melihat hal yang positif, semuanya hidangan sehari-hari yang sang anak saksikan dan ia serap secara tidak sadar. Dan berakhlak yang baik adalah salah satu tanda baiknya keimanan dan agama seseorang. Jadi sila mencari sekolah dengan kurikulum agama dan lingkungan yang baik juga guru agama yang didatangkan secara privat, namun mereka tetap anak-anak kita, bukan anak guru atau ustadz, karena pada akhirnya orang tuanyalah yang akan dimintai pertanggungjawaban perihal amanah berupa anak-anak di yawmil hisab nanti. Laa hawla wa laa quwwata illa billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya)[]
No comments:
Post a Comment