Menikah dan menjadi orang tua itu betul-betul pelajaran untuk mati dari diri sendiri buat saya. Mati dari ego dan keinginan yang seolah tak ada ujungnya.
Saat masih single seolah mudah mengambil setiap keputusan tidak perlu mempertimbangkan pasangan atau anak. Tapi begitu menikah dan apalagi punya anak pertimbangannya banyak. Sejak menikah saya tidak lagi berani untuk melakukan bungee jumping atau sky diving misalnya. Kepikiran kalau ada apa-apa nanti anakku bagaimana ngurusnya?
Apalagi sebagai seoang perempuan. Beda fitrahnya dengan laki-laki. Perempuan itu yang mengandung, melahirkan dan menyusui. Kodratnya memang begitu. Langkahnya pun dibuat pendek. Sedikit-sedikit anak sakit atau sekadar rasa bersalah kalau meninggalkan anak lalu kita mengerem segenap keinginan kita yang ingin terbang ke sana- sini dan melakukan seribu satu macam hal.
Bagian dari menjadi ibu adalah harus siap menanggung lelah lahir batin termasuk mendera kesepian. Demi menemani jiwa dan raga anak - amanah Allah - yang sedang bertumbuh terutama di awal masa tumbuh kembangnya di masa persusuan, sampai-sampai periode itu tercantum dalam Al Quran,
"Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan"
(QS Al Ahqaaf [46]:15)
Saya ingat di masa-masa penyusuan kedua anak saya memang setiap saat saya mendapat tawaran pekerjaan dan ingin kembali bekerja selalu ada hambatannya, anak sakit, tidak ada yang mengasuh dsb. Setiap kondisi rumah tangga memang berbeda. Ada yang dimudahkan agar sang ibu berkecimpung dan bekerja di luar tapi ada juga yang seperti saya, Allah tidak bukakan jalannya. Ya sudah, jangan patah arang. Tetap semangat berkarya dengan apa yang bisa dikerjakan di tempat masing-masing dengan situasi dan keadaan yang ada. Agar kita tetap menjadi hamba-Nya yang bersyukur.
Dan ingat, kadang kehidupan seolah-olah membenteng kita dan seperti tidak ada pintu yang terbuka atau semua jalan keluar seakan tertutup. Barangkali di saat itu yang ingin Allah lakukan bukan agar kita menerjang penghalang yang ada untuk mencari kebahagiaan. Tapi sangat bisa jadi kebahagiaan yang kita cari itu adanya di bawah telapak kaki kita yang menanti untuk digali. Dan memang itu yang saya rasakan. Benar kiranya kunci kebahagiaan itu adalah dengan mensyukuri apa-apa yang Dia hadirkan tanpa harus memberi label kepada apapun yang ada. Terima dengan senyuman dan hati yang bersyukur karena selalu melihat bahwa hidup kita dalam keberlimpahan. Dan memang kalau boleh jujur dan melihat kehidupan apa adanya, kita selalu dalam keberlimpahan nikmat-Nya yang tak akan pernah sanggup kita untuk menghitungnya. []
No comments:
Post a Comment