Tuesday, August 19, 2025

Sang Guru Kesabaran

 Guru pertama yang memberi pelajaran tentang kesabaran dalam hidup saya temukan dalam sosok almarhum nenek saya. Beliau, Mbah Oemijati adalah ibunda dari mama. 


Mbah Oemi adalah sosok yang sangat santun. Tak ada dalam ingatan saya selain wajah beliau yang senantiasa ceria dan penuh kasih sayang. Saya selalu merasa aman bersamanya. 


Beliau tahu saya kutu buku, cara beliau membelikan saya buku adalah dengan memberi saya ‘pekerjaan’ sebagai pencabut uban beliau. Sehelai uban beliau hargai 5 sen. Dan saya sangat bersemangat mengerjakannya, karena uban beliau banyak! Haha.😅


Dari anak-anaknya pun saya mendengar banyak keteladanan dari Mbah Oemi ini. Diantaranya kesabaran beliau dalam mengurus suami dan anak tirinya yang dia tak bedakan dengan anak yang lain. Sedemikian rupa hingga sang anak tiri ini tidak merasa seperti anak tiri dan bahkan sangat dalam cintanya kepada ibu tirinya hingga saat Mbah Oemi meninggal saya menyaksikan sendiri anak tertuanya ini, yang saya panggil sebagai Pakde Sis, menangis tersedu-sedu sambil memeluk gundukan tanah tempat jasad Mbah Oemi dibaringkan di bawahnya.


Kisah keteladanan lainnya adalah tentang ketabahan dan kesabarannya sebagai ibu dari 12 anaknya. Bagaimana beliau me-manage dua butir telur untuk bisa dimakan oleh seluruh anggota keluarga selama masa krisis ekonomi negara dan berdampak ke keluarga pada saat itu. Mbah menjalaninya dengan senyum dan syukur. Alhamdulillah semua anaknya terpelihara. Tak ada satu pun yang terlantar atau mati kelaparan. 


Mbah Oemi mengajarkan kepada saya tentang kesabaran bukan dengan teori atau mengutip dalil-dalil. Beliau sudah menjadi kesabaran itu sendiri. Sehingga pancaran cahaya kesabarannya bisa saya rasakan. Dan itu rasanya yang menjadi salah satu warisannya yang luar biasa kepada anak cucunya.

Dengan ridho beliau ditempa oleh ujian dari Allah hingga pohon kesabaran itu bertumbuh dan buah-buahnya bisa dinikmati oleh kami. 


Sekarang, semenjak menjadi seorang ibu saya menjadi lebih paham. Bahwa kita perlu menjalani sekian takdir kehidupan yang tak masuk akal dan mungkin dianggap sebagai sebuah kegagalan atau bahkan tragedi oleh orang banyak. Tapi sebenarnya itu adalah sebuah pendidikan Ilahiyah untuj menempa jiwa kita agar dia menumbuhkan sifat-sifat-Nya. Dan saat kita berbuah dengan sifat-sifat kebaikan, yang menikmati buah-buah itu adalah anak cucu dan orang-orang sekitar kita. Karena tak ada pohon yang memakan buahnya sendiri.


Terima kasih Mbah Oemi, sudah mengajarkan banyak tentang kesabaran. Masih terngiang di telinga bagaimana beliau rajin membaca Surat Al Waaqi’ah setiap hari. Semua pelajaran hidup ini saya bawa sebagai bekal hidup dan diturunkan pada anak-anak, juga semoga generasi berikutnya. Semoga jadi amal jariyah yang menemani hari-hari beliau di alam barzakh. Yang hanya masalah waktu kita pun akan menyusul. Al Fatihah untuk Mbah Oemi.❤️




No comments:

Post a Comment