Jochebed tengah mengandung bayi Musa ketika titah Firaun untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil diberlakukan. Hal ini muncul karena informasi dari seorang peramal bahwa akan lahir seorang bayi laki-laki Bani Israil yang akan membebaskan bangsa itu dan membawa mereka pada kejayaannya kembali. Maklum, saat itu Bani Israil tengah diperbudak oleh Firaun. Mereka disuruh kerja paksa mengerjakan sekian banyak proyek pembangunan di Mesir dan diperlakukan dengan semena-mena.
Bisa dibayangkan betapa mencekamnya suasana saat itu. Firaun memerintahkan para bidan untuk mengawasi setiap perempuan Bani Israil yang mengandung dan melaporkan apakah bayi yang dilahirkan laki-laki atau perempuan. Dan jika yang terlahir adalah bayi laki-laki, bala tentara akan ditugaskan untuk langsung membunuhnya . Jikalau keluarga itu melawan maka seluruh keluarga akan dihabisi.
Amram, ayahnya Musa kemudian berdoa dan memohon pertolongan Allah dengan sangat. Khawatir akan keselamatan bayi yang masih dalam kandungan ibunya dan masa depan Bani Israil jika hal ini terus terjadi.
Suatu ketika, Amran bermimpi bahwa Allah berbicara kepadanya dan menjamin keselamatan bayi itu dan agar ia tidak berputus asa atas kebaikan-Nya. Sambil mengingatkan bagaimana Allah telah menyelamatkan para leluhurnya, Ibrahim a.s.dan Yaqub a.s. dan memberitakan tentang anaknya demikian,
“Anak itu, yang ditakuti kelahirannya akan diselamatkan dari mereka yang berusaha membunuhnya dan akan dibesarkan dengan cara yang mengejutkan.”
Sekian lama berselang, tibalah saat kelahiran Musa dengan cara yang menakjubkan, karena sang ibunda dibuat hanya menderita rasa sakit yang sedikit sehingga ihwal persalinannya itu tak terpantau oleh bidan kerajaan. Bahkan dengan ajaib, selama tiga bulan lamanya bayi Musa masih bisa berada dalam pengasuhan kedua orang tuanya dengan aman. Hingga suatu hari Amram, sang ayahanda Musa merasa takut jika bayinya ini terlalu lama berada dalam pengasuhannya kemudian akan diketahui oleh kerajaan dan akan berakibat fatal bagi bayi dan istri serta dua anaknya yang lain, yaitu Harun (Aaron) dan Miriam.
Dalam teks sejarah yang ditulis oleh Flavius Josephus , sejarawan Yahudi yang hidup sekutar tahun 40-100 M. Dikatakan bahwa kemudian keluarga itu memutuskan untuk membuat sebuah bahtera kecil yang bisa memuat sang bayi untuk kemudian dihanyutkan ke dalam sungai. Adalah Al Quran yang mengungkap detil dari peristiwa penting ini terkait dengan Jochebed, ibunda Musa, sebab kapasitas hatinya dikonfirmasi oleh Allah sebagai seseorang yang bisa menerima wahyu Allah Ta’ala,
“Kami mewahyukan (wa awhayna) kepada ibu Musa, “Susuilah dia (Musa). Jika engkau khawatir atas keselamatannya, hanyutkanlah dia ke sungai. Jangan engkau takut dan jangan pula bersedih”
- QS Al Qashash 28:7
Inilah panduan luar biasa dari Allah terkait keselamatan anak kita dan jaminan masa depan baginya yang kerap kali mempertakuti kita. Memang sekilas logikanya aneh, kalau khawatir akan anak itu justru hanyutkan dia, bukan malah makin digenggam oleh kita. Kuncinya ada pada tawakal kepada Allah. Sebagaimana Amram, ayahanda Musa yang rela melepaskan bayi laki-laki lucu yang baru dia nikmati tiga bulan bersamanya untuk dihanyutkan dalam aliran takdir yang Allah kehendaki, dengan sebuah kesadaran dalam bahwa penjagaan Allah jauh lebih baik dari sekadar upaya penyelamatannya.
Saya jadi ingat pesan dari guru, “Ingat, Allah lebih sayang kepada anak-anak kita dibandingkan rasa sayang kita kepada mereka.”
Kita harus mentawakalkan masa depan anak-anak kita kepada-Nya. Itu adalah penjagaan yang terbaik. Ya, kita berupaya sebaik mungkin menjalankan amanah kita sebagai orang tua. Tapi tidak bersandar pada upaya dan skema kehidupan kita yang sangat terbatas ini. Agar jiwa kita tidak dibuat susah oleh anak-anak kita. Wallahu’alam
Amsterdam, Jumat 26 September 2025 / 4 Rabiul Akhir 1447 H. Memasuki musim gugur yang dingin. 9.12 pagi
Lukiean “The Infant Moses” oleh Gustav Moreau