Saturday, October 11, 2025


 Saya bersaksi, tak ada masalah sepelik apapun, ujian seberat apapun, cobaan segila apapun yang tak dapat diatasi dengan berserah diri kepada Allah di atas sajadah.


“Jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu…”

- QS Al Baqarah: 45


Amsterdam, Sabtu 11 Oktober 2025

14.27

Thursday, October 9, 2025

Agar seimbang aspek langit dan bumi kita

 Ajaran agama itu indah. Ia membawa kita pada titik kesetimbangan masing-masing, yang kita kokoh berdiri di sana. Kokoh menjalani takdir kehidupan yang naturnya selalu berganti. Kokoh menghadapi kehilangan. Tangguh menjalani ujian. Kuat dalam mengalir dalam keluangan dan keberlimpahan agar tak lupa diri dan lupa bersyukur.

Shalat sebagai tiang agama, perintahnya turun secara istimewa. Berbeda dengan ibadah lainnya yang diturunkan. Perintah shalat ini sang hamba, Rasulullah SAW harus naik menjemput di langit. Tapi tidak sembarang naik. Karena kalau sekadar naik ke langit, kenapa tidak langsung saja terbang ke atas dari Masjidil Haram? Kenapa harus 'jauh-jauh' ke Masjidil Aqsa dulu? Ada makna di balik semua pertanda. Hikmahnya dalam. Kenapa kita harus isra', berjalan di muka bumi. Dalam Islam, aspek bumi itu dihargai sekali. Itu kenapa mau shalat pun raganya dibasuh dengan air wudhu. Bahkan ibadah shalat, raga kita diajak ruku dan sujud (jika tidak berhalangan). Tidak hanya itu, raga pun akan diganjar dengan surganya tersendiri nanti. 

Aspek raga atau bumi kita bagaikan tanah yang menyangga dan menjadi tempat tumbuh benih yang berbuah pada akhirnya. Di bumi yang kita pijak itulah tempat air kehidupan dan unsur hara berada agar pohon jiwa kita bertumbuh dan berbuah lebat pada saatnya. Maka manusia tidak bisa mencampakkan takdirnya. Tidak bisa menolak bentuk wajah dan raganya. Tidak boleh tutup mata dengan kondisi keadaan orang tua yang dari mereka kita berasal. Tidak layak untuk melupakan tempat kita berasal karena merasa tidak keren dibanding yang lain. Apapun takdir yang Allah tetapkan kepada setiap kita, dari orang tua mana kita lahir, tahun berapa, keadaan ekonomi seperti apa, potongan raga seperti apa, kelebihan dan kekurangan masing-masing, itu semua adalah bumi yang perlu kita jalani (isra) dengan kebersyukuran. Agar kita layak untuk Allah mi'rajkan. Insya Allah.

Amsterdam, Kamis 9 Oktober 2025 / 17 Rabi'ul Akhir 1447 H

Musim gugur yang cerah, selepas kelas Serambi Suluk Online 11.17 pagi

Friday, September 26, 2025

Serahkan nasib anak kita di tangan-Nya

 "....maka sungai menerima anak itu dan membawanya..."

Di tengah suasana mencekam dan menakutkan akan teror dari Firaun dengan membunuh setiap bayi laki-laki yang terlahir dari Bani Israil. Allah Ta'ala memberi petunjuk kepada ibunda Musa untuk mengalirkan anaknya di sungai Nil. Sebuah solusi yang "tidak masuk akal". Siapa orang tua yang tega menghanyutkan bayi yang baru berusia 3 bulan ke sungai besar dengan risiko tenggelam atau dimakan binatang buas.

Tetapi demikianlah hidup. Kita belajar untuk membangun keyakinan kepada Allah Ta'ala. Bahwa jalan keluar dari sebuah permasalahan yang menghimpit itu bisa jadi tak terduga dan tak harus masuk akal. Disitu pentingnya kita berserah diri dan tawakal sepenuhnya kepada ketetapan Allah. 

Kita pun sering lupa bahwa semua adalah ciptaan Allah. Sungai adalah ciptaan Allah yang tidak akan menenggelamkan kecuali kalau Allah perintahkan dia menenggelamkan sesuatu. Binatang buas pun adalah ciptaan Allah yang tak akan menyakiti seujung rambut pun kecuali Allah izinkan dia berbuat demikian. Ingat kisah Nabi Daniel a.s. yang dimasukkan ke gua yang penuh dengan singa yang buas dan lapar, tapi Allah selamatkan, singa-singa itu dibuat tunduk dan tidak menyakiti Nabi Daniel seujung kuku pun. 

Kita lupa, bahwa Allah yang menjamin masa depan dan kesejahteraan anak-anak kita. Bukan karena ia sekolah di tempat tertentu yang dikenal lulusannya "sukses". Bukan karena dia mengambil jurusan tertentu yang katanya bakal cepat dapat kerja. Bukan karena dia punya segudang talenta, yang bisa saja hilang dalam sekejap dalam depresi yang tak berujung. Bukan karena dia punya backing kuat yang kapanpun bisa tiada. Bukan karena ini-itu. Semata-mata karena Allah yang menjamin dan melindungi. Demikian mestinya kita menjaga keutuhan tauhid kita. Agar kita tidak mentawakalkan masa depan anak-anak kita pada tuhan-tuhan palsu yang pasti akan musnah. 

Don't play God. Ingat bahwa anak kita bukan milik kita pada hakikatnya. Mereka adalah jiwa-jiwa yang dititipkan kepada kita untuk kita sayangi dan pelihara sampai pada saatnya mereka harus menapaki jalan mereka masing-masing yang telah Allah Ta'ala rancang dengan sangat spesifik. Iya betul, kita punya kewajiban sebagai orang tua. Tapi kita pun harus mengenal batas-batas kita sebagai manusia yang fakir dan tak berdaya berhadapan dengan ketetapan-Nya. Karena sebaik-baik bekal bagi mereka adalah taqwa, bukan menyandarkan pada skema penyelamatan kita yang terbatas ini. Agar kita tidak dibuat susah karenanya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surah Al Baqarah: 233,

"...Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah (menderita kesengsaraan) karena anaknya..."


Amsterdam, Openbaare Bibliotheek Reigersbos, Jum'at 26 September 2025

Jam 12.41 pagi, selepas Dutch conoversation class




Karena Allah lebih mencintai anak kita

 Jochebed tengah mengandung bayi Musa ketika titah Firaun untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil diberlakukan. Hal ini muncul karena informasi dari seorang peramal bahwa akan lahir seorang bayi laki-laki Bani Israil yang akan membebaskan bangsa itu dan membawa mereka pada kejayaannya kembali. Maklum, saat itu Bani Israil tengah diperbudak oleh Firaun. Mereka disuruh kerja paksa mengerjakan sekian banyak proyek pembangunan di Mesir dan diperlakukan dengan semena-mena.


Bisa dibayangkan betapa mencekamnya suasana saat itu. Firaun memerintahkan para bidan untuk mengawasi setiap perempuan Bani Israil yang mengandung dan melaporkan apakah bayi yang dilahirkan laki-laki atau perempuan. Dan jika yang terlahir adalah bayi laki-laki, bala tentara akan ditugaskan untuk langsung membunuhnya . Jikalau keluarga itu melawan maka seluruh keluarga akan dihabisi.


Amram, ayahnya Musa kemudian berdoa dan memohon pertolongan Allah dengan sangat. Khawatir akan keselamatan bayi yang masih dalam kandungan ibunya dan masa depan Bani Israil jika hal ini terus terjadi. 


Suatu ketika, Amran bermimpi bahwa Allah berbicara kepadanya dan menjamin keselamatan bayi itu dan agar ia tidak berputus asa atas kebaikan-Nya. Sambil mengingatkan bagaimana Allah telah menyelamatkan para leluhurnya, Ibrahim a.s.dan Yaqub a.s. dan memberitakan tentang anaknya demikian, 


“Anak itu, yang ditakuti kelahirannya akan diselamatkan dari mereka yang berusaha membunuhnya dan akan dibesarkan dengan cara yang mengejutkan.”


Sekian lama berselang, tibalah saat kelahiran Musa dengan cara yang menakjubkan, karena sang ibunda dibuat hanya menderita rasa sakit yang sedikit sehingga ihwal persalinannya itu tak terpantau oleh bidan kerajaan. Bahkan dengan ajaib, selama tiga bulan lamanya bayi Musa masih bisa berada dalam pengasuhan kedua orang tuanya dengan aman. Hingga suatu hari Amram, sang ayahanda Musa merasa takut jika bayinya ini terlalu lama berada dalam pengasuhannya kemudian akan diketahui oleh kerajaan dan akan berakibat fatal bagi bayi dan istri serta dua anaknya yang lain, yaitu Harun (Aaron) dan Miriam. 


Dalam teks sejarah yang ditulis oleh Flavius Josephus , sejarawan Yahudi yang hidup sekutar tahun 40-100 M. Dikatakan bahwa kemudian keluarga itu memutuskan untuk membuat sebuah bahtera kecil yang bisa memuat sang bayi untuk kemudian dihanyutkan ke dalam sungai. Adalah Al Quran yang mengungkap detil dari peristiwa penting ini terkait dengan Jochebed, ibunda Musa, sebab kapasitas hatinya dikonfirmasi oleh Allah sebagai seseorang yang bisa menerima wahyu Allah Ta’ala, 


“Kami mewahyukan (wa awhayna) kepada ibu Musa, “Susuilah dia (Musa). Jika engkau khawatir atas keselamatannya, hanyutkanlah dia ke sungai. Jangan engkau takut dan jangan pula bersedih” 

- QS Al Qashash 28:7


Inilah panduan luar biasa dari Allah terkait keselamatan anak kita dan jaminan masa depan baginya yang kerap kali mempertakuti kita. Memang sekilas logikanya aneh, kalau khawatir akan anak itu justru hanyutkan dia, bukan malah makin digenggam oleh kita. Kuncinya ada pada tawakal kepada Allah. Sebagaimana Amram, ayahanda Musa yang rela melepaskan bayi laki-laki lucu yang baru dia nikmati tiga bulan bersamanya untuk dihanyutkan dalam aliran takdir yang Allah kehendaki, dengan sebuah kesadaran dalam bahwa penjagaan Allah jauh lebih baik dari sekadar upaya penyelamatannya.


Saya jadi ingat pesan dari guru, “Ingat, Allah lebih sayang kepada anak-anak kita dibandingkan rasa sayang kita kepada mereka.”


Kita harus mentawakalkan masa depan anak-anak kita kepada-Nya. Itu adalah penjagaan yang terbaik. Ya, kita berupaya sebaik mungkin menjalankan amanah kita sebagai orang tua. Tapi tidak bersandar pada upaya dan skema kehidupan kita yang sangat terbatas ini. Agar jiwa kita tidak dibuat susah oleh anak-anak kita. Wallahu’alam

Amsterdam, Jumat 26 September 2025 / 4 Rabiul Akhir 1447 H. Memasuki musim gugur yang dingin. 9.12 pagi

Lukiean “The Infant Moses” oleh Gustav Moreau



Saturday, September 20, 2025

Siapa aku sebenarnya ya Allah?

 Sebelum kita meminta ini dan itu pada Allah

Sebelum kita memutuskan akan melakukan ini dan itu

Sebelum kita mengambil kesimpulan tentang siapa diri kita dan menjalani hidup dengan kesimpulan itu.


Barangkali baik kiranya kita bertanya kepada Sang Maha Pencipta, “Siapa aku sebenarnya wahai Allah?”

Dan tanya terus setiap hari. Karena jawabannya bisa jadi terurai dalam keping-keping puzzle kehidupan bahkan sejak kita lahir. Dan seperti halnya puzzle, butuh waktu untuk merangkainya satu persatu hingga kita mulai bisa menebak gambaran apa yang ada di dalamnya. Itulah informasi siapa diri kita yang sebenarnya. We have all the piece of puzzles, but we need to take time to pause and to contemplate. 


Hanya dengan pertolongan Allah.

Hanya dengan kekuatan dari-Nya.

Hanya dengan dukungan cahaya dari Sang Sumber cahaya.


Baru perlahan-lahan kita bisa mulai membaca, “iqra”, kitab kehidupan, kitab diri, dan semoga membaca Quran dengan hakiki. Karena hanya melalui Quran kita bisa menjangkau Dia yang “laisa kamitslihi syai’un” tak ada satupun yang serupa dengan-Nya.

Itulah anak tangganya. Tak ada yang lain. 

Karena hidup adalah untuk mengenal-Nya.

Sang Sumber kebahagiaan kita ❤️


Chester, UK

Minggu, 21 September 2025 pukul 4.10 pagi 

Menanti waktu shalat shubuh

Tuesday, September 9, 2025

Packing untuk alam barzakh

Kalau kita mau keluar negeri saja persiapannya banyak. Beli tiket jauh-jauh hari, asuransi perjalanan, bagasi puluhan kilo, backpack, oleh-oleh dll. Serius sekali. Tapi bersiap untuk perjalanan ke alam barzakh seringkali kita lalai. Boro-boro “packing”, mengumpulkan bekal untuk perjalanan alam sana saja belum. Padahal ngga akan bawa hape, atm dll, cuma modal amal shalih. 


Apa pula itu amal shalih? Jangan-jangan semua amal baik yang kita lakukan belum terhitung shalih dalam pandangan-Nya. Celaka kita! Na’udzubillahimindzaalik, mana pergi pakai one way ticket lagi. Tak akan ada lagi kesempatan beramal shalih kalau sudah terlanjur dideportasi ke alam kubur. Makanya mumpung masih ada nafas, kita taubat. Itu kunci mendapat cahaya iman yang menuntun kita ke amal shalihnya masing-masing.

Yuk mulai packing, supaya pas malaikat maut datang menjemput kita sudah siap. Insya Allah🥰

Hari tenang terakhir, sebelum kontraksi harian 😅

Amsterdam, 09/09/2025 - 15 Rabi’ul Awwal 1447 H

15.14 sore memasuki musim gugur yang mulai berangin kencang dan dingin




Thursday, September 4, 2025

Karunia berupa keterbatasan

 Apa yang kita alami sebagai sebuah keterbatasan, sesungguhnya adalah sebuah pertolongan dan panduan yang besar dari Allah Ta’ala agar hidup kita lebih terarah dan tidak liar.


Keterbatasan waktu,

Keterbatasan kesempatan,

Keterbatasan uang,

Keterbatasan kesehatan,

Keterbatasan tenaga.


Semuanya adalah perwujudan dari kasih sayang Dzat yang mengatur alam semesta. Agar fokus diri kita pada hal-hal yang memang penting dan bermanfaat bagi diri.


Makanya seorang ulama mengatakan, “Jangan meminta kepada Allah rezeki sebanyak-banyaknya” tapi mintalah sesuai apa yang dibutuhkan saja dari saat ke saat. Karena makin dibuat berlimpah dan tak terbatas manusia itu cenderung liar hidupnya. Akan cenderung melalaikan tugas utamanya. Tahu-tahu malaikat maut datang menjemput, sedangkan kehadirannya tak bisa dinegosiasi. Ketika ia datang “game over” sudah, hanya menyisakan penyesalan, 


“Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.” 

QS Al Mu’minuun [23]:99-100


Dalam perjalanan Amsterdam-Leiden

Di hari mulia kelahiran Rasulullah SAW

12 Rabi’ul Awwal 1447 H