Setiap kita lahir ke dunia ini dengan warna kehidupan yang telah ditetapkan, kita tidak punya peran dalam menentukan siapa orang tua kita, dari kalangan keluarga mana kita berasal, bagaimana bentuk tubuh kita, warna kulit hingga talenta yang dimiliki. It's all given.
Begitu pun lembaran-lembaran kehidupan yang telah berlalu, suka-duka, berhasil atau gagalnya hingga catatan kehidupan yang dianggap kelam atau memalukan, semua telah menjadi bagian dari diri kita masing-masing yang tak terpisahkan.
Sayangnya sebagian besar manusia cenderung ingin melarikan diri dari takdir kehidupannya masing-masing. Tidak menerima ketetapan-Nya dan selalu ingin menjadi seseorang yang bukan dirinya sejati. Kebanyakan manusia cenderung mengkhianati dirinya sehingga alih-alih hidup mengalir dalam jati dirinya, ia akan mencoba mengambil persona yang dianggap 'baik' dan 'sukses' oleh orang kebanyakan.
Demikianlah, ketika paradigma kesuksesan seseorang diukur dari tataran duniawi; sekaya apa dia, setinggi apa jabatan, posisi atau pendidikannya atau bahkan yang tampaknya lebih 'spiritual' seperti sebanyak apa pengikutnya. Apapun itu yang penting kelihatan 'hebat' di mata kebanyakan manusia.
Dengan cara pandang seperti itu manusia akan terdorong untuk senantiasa merengkuh sesuatu yang di luar jangkauannya per hari ini. Atau bahkan menafikan sekian penggal kehidupan di masa lalu yang ia anggap sebuah 'kegagalan' dan dipandang memalukan.
Sepanjang seseorang belum bisa menerima takdir kehidupan apa adanya dan berkata "tidak ada satu pun ketetapan-Nya yang sia-sia", sepanjang itu pula dia belum menjadi hamba-Nya yang bersyukur.
(Disajikan ulang dari Pengajian Kitab Al Hikam yang disampaikan oleh Zamzam AJT)
No comments:
Post a Comment