Bulan Ramadhan mengajarkan banyak hal.
Kita belajar untuk menghargai waktu-waktu Tuhan.
Diantaranya, boleh makan dan minum, tapi nanti. Tunggu waktu maghrib tiba. Dan kita pun patuh.
Kepatuhan itu karena ada cahaya dalam dada (shadr). Imam Tirmidzi menyebutnya sebagai “Nur Islam”, cahaya Ilahiyah yang membuat seseorang jadi berserah diri. Dan itu dilakukan tidak sehari, dua hari. Tidak pula seminggu, dua minggu, tapi sebulan penuh! Sungguh menjejakkan sebuah efek transformasi yang mendalam pada diri seseorang, kalau saja ibadahnya ikhlas lillahi ta’ala. Secara fisik pun, sel-sel bertransformasi dalam hitungan hampir dalam waktu satu bulan secara rata-rata. Jadi memasuki bulan Syawal, kita pada dasarnya punya konstelasi raga yang baru, maka jangan dirusak dengan kembali makan berlebihan dan tak memikirkan aspek halal dan thayyib serta mengumbar syahwat setelah bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan juga mengajarkan kebersamaan. Semesta ditundukkan di bulan ini. Setan-setan dibelenggu, kaum Muslim beribadah shaum dan tarawih bersama. Bahkan beberapa non-Muslim ikut ingin merasakan bagaimana rasanya berpuasa di bulan Ramadhan. Lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan ada di bulan Ramadhan. Semua dikondisikan untuk menerima anugerah tertinggi, yaitu Al Quran. Ada alasannya mengapa dari dua belas bulan yang Allah ciptakan, Al Quran diturunkan di bukan Ramadhan, bukan di bulan yang lain.
Bukan Ramadhan mengkondisikan sebuah kejujuran. Seseorang bisa saja pura-pura tampak berpuasa di depan yang lain dan sembunyi-sembunyi makan dan minum di tempat lain. Tapi dia tahu Allah tidak bisa dibohongi. Kesadaran bahwa Allah Maha Melihat adalah ihsan. Dan karakteristik takut kalau dia berbohong dengan berpura-pura puasa jangan-jangan Allah tidak berkenan kepadanya. Rasa takut itu datang dari hati yang taqwa.
Bulan Ramadhan juga mengajarkan kebersyukuran pada hal-hal “kecil” yang kerap tak kita anggap sebagai sebuah kenikmatan yang besar. Seperti nikmatnya tegukan pertama saat kita meminum air tatkala berbuka. Air putih yang tadinya biasa-biasa saja jadi nikmat tiada tara ketika kita berbuka.
Manusia memang sering lupa bahwa kita tengah berada di sebuah samudera kenikmatan yang melimpah. Lupa bahwa di setiap saatnya Allah memberi jauh lebih dari apa yang sekadar kita minta dan bahkan yang kita bayangkan.
Kita kerap lupa nikmatnya bisa bernafas tanpa tersengal-sengal. Betapa nikmatnya berjalan tanpa sakit lutut. Betapa nikmatnya bisa melihat tanpa pandangan yang buram. Betapa nikmatnya bisa belanja di pagi hari dan menghirup udara segar serta mendengar burung berkicau seperti yang saya rasakan di pagi hari ini. All those “little things” that we often take for granted.
Ramadhan sungguh mengajarkan banyak hal. Tentang sebuah pengabdian. Tentang makna kebersamaan dan sekaligus nilai kesendirian di malam-malam i’tikaf. Semoga ibadah puasa kita tidak hanya di bulan Ramadhan. Karena tak ada ibadah yang Dia klaim seperti puasa.
“Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” - Hadits Qudsi
It’s very personal and very special.♥️
Terima kasih wahai bukan Ramadhan untuk membersamai kami menapaki jalan taubat. Semoga kita berjumpa kembali.
Jelang akhir Ramadhan 1445 H
No comments:
Post a Comment