Konsep "halaal" erat kaitannya dengan "thayyib" (diterjemahkan sebagai baik) ; "nikmat" dan "syukur" dalam Al Qur'an (QS An Nahl [16]: 114). Sebuah gambaran bahwa dalam hidup manusia juga mesti memerhatikan aspek batin yang halus, karena yang disebut halaal sudah jelas aturannya. Misal mengkonsumsi babi, darah, melakukan hubungan intim sebelum menikah adalah tidak halaal. Sedangkan apa yang baik bagi seseorang bisa jadi tidak baik bagi orang lain.
Pengetahuan apa-apa yang baik bagi diri sendiri terkait dengan "nikmat" yang Sang Pencipta berikan kepada manusia. Suatu "nikmat" yang terentang panjang sejak adanya perjanjian di alam persaksian (QS [5]: 7). Artinya nikmat hakiki manusia mestilah ada uhbungannya dengan fitrah diri setiap insan. Suatu ciptaan-Nya yang paripurna, yang para malaikat pun diperintahkan untuk bersujud kepadanya.
Dengan demikian pengetahuan tentang sesuatu yang "thayyib" bagi diri sifatnya sangat personal, karena ia berakar kepada jati diri masing-masing. Mengkonsumsi suatu makanan bisa jadi thayyib buat seseorang tapi merusak buat yang lain, mengunyah banyak buku bisa jadi thayyib buat si fulan tapi bersifat racun buat temannya. Mengetahui kadar diri yang benar itulah pasti yang "thayyib" bagi diri seseorang, apakah itu makanan, tempat tinggal, pasangan, pekerjaan, jam tidur, dan semua hal yang melingkupi kehidupannya. Mari kita berjuang mencari hal yang "thayyib" bagi diri kita masing-masing.[]
No comments:
Post a Comment