Hak-hak istri atas suami sangat banyak, di antaranya suami
harus memperlakukan mereka dengan akhlak yang baik, menerima dengan sabar
perlakuan mereka yang menyakitkan, dan menyayangi mereka atas kekurangan
akalnya. Allah SWT berfirman:
Pergaulilah mereka
dengan baik (QS An Nisaa’ [4]: 19)
Lalu, mengenai besarnya hak mereka, Allah berfirman:
Mereka telah mengambil
dari kalian perjanjian yang teguh (QS An Nisaa’ [4]: 21)
Teman dalam perjalanan
(QS An Nisaa’ [4]: 36)
Perempuan termasuk salah satu dari tiga hal yang diwasiatkan
Rasulullah saw. Sesaat sebelum meninggal beliau berwasiat, “Jagalah shalat.
Perhatikan budak yang kalian miliki, janganlah mereka diberi beban di luar
kesanggupannya. Bertakwalah kalian dalam menghadapi perempuan; mereka adalah
tawanan yang berada dalam kekuasaan kalian; kalian telah menahannya dengan
amanat Allah dan telah menghalalkan alat kelaminnya dengan kalimat Allah.”
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersabar atas
keburukan akhlak istrinya, Allah akan memberikan pahala sebagaimana pahala yang
diberikannya kepada Nabi Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung ujian.”
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang bersabar atas
keburukan akhlak suaminya, Allah akan memberinya pahala sebagaimana pahala yang
diberikan kepada Asiyah istri Fir’aun.”
Yang termasuk akhlak baik seorang suami adalah bersikap
sabar atas perbuatan istrinya yang menyakitkan, bukan menjauhinya. Lalu,
bersifat lembut atas kecerobohan dan kemarahan mereka dalam rangka meneladani
sunnah Rasulullah saw. Beliau pun biasa bersabar menghadapi kecerewetan dan
bantahan istri-istrinya, sehingga salah seorang dari mereka tidak mau berbicara
kepada beliau sampai sehari semalam.
Istri Umar bin Khaththab pada suatu hari membantahnya, Umar
berkata, “Sungguh berani engkau membantahku!”
Istri Umar berkata, “Istri-istri Rasulullah saw pun
membantah beliau, padahal beliau lebih baik darimu.”
Umar berkata, “Sungguh celaka Hafshah, jika ia pun membantah
Rasulullah saw.”
Lalu Umar berkata kepada Hafshah, “Janganlah kamu terhasut
oleh A’isyah. Ia adalah kecintaan beliau dan perempuan yang sangat ditakuti
bantahannya.”
Diriwayatkan, A’isyah membantah Rasulullah saw. Ibu A’isyah
tentu saja marah melihat perilaku putrinya itu terhadap Nabi saw. Namun,
Rasulullah saw bersabda, “Biarkanlah, karena ia ingin melampiaskannya lebih
banyak lagi.”
Ketika itu, masuklah Abu Bakar. Lalu Rasulullah saw
memintanya untuk menengahi persoalan mereka. Beliau berkata kepada A’isyah.
“Siapa yang akan berbicara terlebih dahulu, engkau atau aku?”
A’isyah berkata, “Silahkan, namun Anda jangan mengatakan
kecuali yang sebenarnya.”
Melihat sikap A’isyah seperti itu kepada Rasulullah saw, Abu
Bakar menempelengnya hingga mulut A’isyah berdarah. Lalu Rasulullah saw menarik
A’isyah ke belakang punggungnya sambil berkata kepada Abu Bakar, “Bukan untuk
hal ini kami mengundang anda. Kami pun tidak berharap anda melakukan hal ini.”
Pada suatu waktu, A’isyah marah-marah kepada Rasulullah saw,
sehingga ia berbicara di luar batas, “Engkaukah yang mengaku seorang Nabi?”
Mendengar perkataan A’isyah, beliau hanya tersenyum dengan
penuh kesabaran. Lalu, beliau bersabda, “Aku tahu saat engkau marah dan saat
engkau ridha.”
A’isyah berkata, “Bagaimana engkau mengetahui hal itu?”
“Jika engkau ridha, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan
Muhammad.’ Akan tetapi jika engkau marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan
Ibrahim.’” Jawab Rasulullah saw.
Lantas A’isyah berkata, “Engkau benar. Aku memang
menghindari namamu bila sedang marah.”
Rasulullah saw berkata kepada A’isyah, “Aku bagimu seperti
Abu Zar’in kepada Ummu Zar’in. Hanya saja aku tidak menceraikanmu.”
Rasulullah saw pernah berkata kepada para istrinya,
“Janganlah kalian menyakiti aku disebabkan A’isyah, karena demi Allah, tidak
turun wahyu Allah kecuali saat aku sedang berada di samping A’isyah.”
Anas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw adalah orang yang
sangat berkasih sayang terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Diantara sifat
kasih sayangnya, beliau bersabar atas gangguan mereka, bermain dan bersenda
gurau sehingga menyenangkan mereka.
Beliau pernah berlomba lari dengan A’isyah. Pada suatu saat,
A’isyah memenangkan pertandingan itu, dan pada saat lainnya beliaulah yang
memenangkannya. Lalu beliau bersabda, “Kemenanganku kali ini untuk menebus
kekalahanku tempo hari.”
Rasulullah saw adalah orang yang dapat menyenangkan
istri-istrinya. A’isyah bercerita bahwa pada suatu hari ia mendengar suara
orang-orang Habasyah sedang mengadakan suatu permainan pada hari ‘Asyura.
Rasulullah saw lantas berkata kepadanya, “Apakah engkau ingin melihat permainan
mereka?”
“Ya,” jawab A’isyah.
Kemudian beliau memanggil mereka agar bermain di dekat
rumahnya. Setelah itu beliau berdiri di antara dua pintu lalu memanjangkan
tangannya.
“Aku berdiri sambil menyandarkan daguku ke tangan beliau sehingga
aku dapat melihat permainan mereka,” kata A’isyah.
Beliau lalu berkata, “A’isyah, sudah cukup?”
“Sebentar lagi, dua atau tiga kali lagi,” kata A’isyah.
Beberapa lama berselang, beliau bertanya, “A’isyah, sudah cukup?”
“Ya, sudah cukup,” jawab A’isyah.
Lalu beliau memberi isyarat kepada orang-orang Habasyah itu
agar mengakhiri permainannya. Mereka pun kemudian berlalu. Rasulullah saw
bersabda, “Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya
dan yang paling lembut kepada keluarganya.”
Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling baik dari kalian
adalah yang paling baik kepada istrinya, dan akulah yang paling baik kepada
istriku.”
Umar r.a. yang terkenal akan kekerasan wataknya berkata
bahwa seorang laki-laki harus bersikap seperti seorang anak dalam keluarganya.
Namun, jika mereka meminta pertolongan, ia tampil sebagai seorang laki-laki
sejati.
Luqman al Hakim juga berkata bahwa seorang suami harus
bersikap seperti seorang anak kecil dalam keluarganya. Namun, di tengah kaumnya
ia tampil sebagai seorang laki-laki sejati.
Dalam Tafsir al Khabar
al Marwi, dikatakan bahwa Allah sangat membenci seorang suami yang berwatak
keras dan sombong dalam keluarganya.
Seorang perempuan Arab menyifati suaminya yang sudah
demikian sbb:
“Demi Allah, suamiku adalah seorang periang, jika ada di
rumah. Seorang pendiam jika pergi ke luar. Ia mau makan apa saja tanpa
bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak ada. Ia senang bersenda gurau dan
baik akhlaknya, namun ia tidak berbuat sesuatu yang dapat menjatuhkan
wibawanya.”
Al Hasan berkata bahwa tidaklah seorang suami menuruti
kemauan hawa nafsu istrinya kecuali Allah pasti memasukkannya ke dalam neraka.
Umar r.a berkata, “Janganlah kalian menuruti kemauan hawa
nafsu istri kalian agar mendapat berkah.”
Dikatakan, ada saat untuk bermusyawarah dengan istri dan ada
saat untuk menolak keinginan mereka. Rasulullah saw bersabda, “Celakalah
seorang suami yang menjadi budak istrinya.”
Yang beliau maksud adalah jika seorang suami menuruti hawa
nafsu istrinya, berarti ia menjadi budaknya. Ia dikatakan celaka, karena ia
telah memutarbalikkan hak yang telah diberikan oleh Allah.
Allah telah memberi kekuasaan kepada suami untuk mengatur
istrinya, bukan sebaliknya.
Jika terjadi demikian, sebenarnya ia telah mengikuti jejak
setan, sebagaimana firman Allah SWT, (Setan
berkata), “Mereka pasti akan kusuruh untuk mengubah makhluk ciptaan Allah
(QS An Nisaa’ [4]: 119).
Hak seorang suami adalah ditaati oleh istrinya. Oleh karena
itu, Allah menamai kaum laki-laki dengan al
qawwamunaa a’laa an nisaa’, yaitu menjadi pemimpin kaum perempuan. Dalam
ayat lain, Allah menamainya dengan sayyid,
artinya tuan, sebagaimana firman-Nya: Mereka
berdua (Yusuf dan Zulaikha) mendapati tuannya (suami Zulaikha) berada di muka
pintu (QS Yusuf [12]: 25).
(Syaikh Abdul Qadir Jailani)
No comments:
Post a Comment