Saturday, December 17, 2022

 "Saya tidak tahu kenapa saya bisa menceritakan semua hal ini sama kamu. Orang yang baru saya temui hari ini. Penggal kehidupan saya yang satu ini demikian kelam dan menyakitkan hingga saya tidak bisa menceritakannya kepada keempat anak saya...


Dua puluh tujuh tahun yang lalu saya tiba ke Belanda sebagai salah satu pengungsi dari Rwanda. Saat itu konflik perang antar etnis melanda negeri kami. Mengerikan sekali, nyawa orang seperti tak ada harganya sama sekali. Orang seperti kesetanan, begitu menemui orang yang beda etnisnya langsung parang mereka menyabet leher dan memisahkan kepala dari tubuhnya.

Saya menyaksikan ayah dan saudara-saudara saya meregang nyawa di hadapan saya. Mengerikan sekali. Tuhan menyelamatkan kami dan ibu saya. Kami melarikan diri dari kota tempat saya bertumbuh selama 17 tahun ke arah Uganda dengan menumpang bis yang penuh sesak dengan orang-orang lain. Setelah itu kami berjalan kaki hingga memasuki perbatasan negeri.

Selama bertahun-tahun saya mengalami depresi. Hampir setiap malam saya bermimpi buruk. Kami tinggalkan jenazah ayah dalam kalut. Sampai saat ini kami tidak tahu dimana ia dikebumikan. Mungkin beserta ribuan orang lain korban pembantaian. Hingga hari ini pun saya dan ibu tidak sudi menjejakkan kaki ke negara itu. Terlalu menyakitkan buat kami..."

Ibu ini kemudian bercerita bagaimana pengalamannya menjejakka kaki di negara baru dan hidup terlunta-lunta sebagai pengungsi, hingga akhirnya bisa menata kehidupan di negeri Belanda. Menikah dan memiliki empat anak. Anak yang terbesar sudah berusia 25 tahun sekarang.

Saat saya bertanya, "Kamu tampaknya orang yang religius, dengan banyak menyebut Tuhan. Apa kiranya hikmah di balik pengalaman yang menyakitkan ini? Karena iman pasti berbisik Tuhan memberi yang terbaik"

Dia merenung sejenak kemudian berkata, "Anak-anak membuat saya kuat, karena saya harus kuat untuk mereka. Kalau saya melihat anak-anak saya bisa tumbuh besar dan mendapatkan pendidikan yang baik di negeri ini. Saya mulai menduga, ini barangkali yang Tuhan inginkan. Meratakan jalan buat mereka. Sesuatu yang tak akan pernah terjadi jika saya tidak didorong oleh keadaan yang demikian kacau di negara tempat saya dilahirkan dulu..."

Ibu itu berhenti sejenak, sambil menunjukkan tangannya. "Itu anak saya, yang renang di line paling ujung!"

Dan kami sama-sama lanjut menyaksikan anak-anak kami berenang

(Berdasarkan obrolan singkat saat menunggu si kecil les renang) 

No comments:

Post a Comment