Going through hard times makes you stronger
Ujian kehidupan itu bisa menempa kita jadi orang yang lebih tangguh.
Saya mengalaminya sekitar 30 tahun yang lalu.
Ketika kondisi ekonomi keluarga Allah buat jungkir balik begitu saja dalam semalam. Satu per satu saya menyaksikan aset orang tua habis bersamaan dengan krisis keluarga dan krisis moneter yang menimpa negeri.
Saya yang biasa kalau nge-mall setiap minggu beli jaket Esprit kesukaan favorit seharga ratusan ribu atau kacamata merk Benetton yang dibandrol 1,5 juta di saat itu kemudian harus terbiasa menunggu pembeli membeli roti tawar seharga 10.000 rupiah di toko roti keluarga, sekadar untuk punya bekal sekolah.
Sedih? Iya. Tapi karena saya tidak pernah melihat orang tua saya mengeluh dengan keadaannya, hal itu membuat saya pun tegar menghadapinya dan tidak berkecil hati karenanya.
Tahun pertama kuliah di Jatinangor, orang tua menyisihkan uang untuk bisa membayar uang kost - agar saya bisa tinggal jalan ke kampus. Kami menemukan tempat kost baru yang hanya tersedia meja belajar dan lemari baju kayu. Saat pindahan di malam hari, saya bisa melihat ibu saya diam-diam menitikkan air mata karena belum mampu membelikan saya sekadar kasur lipat seharga 150 ribu. Tapi kami tidak kehilangan akal. Karpet tebal dari rumah kami bawa dan dilapisi dua lapis sprei, et voila! Jadilah alas tidur yang nyaman. Dua bulan kemudian baru Papa datang membawakan kasur lipat. Untuk pertama kalinya, saya merasakan nikmatnya tidur di kasur. Kenikmatan yang selama ini saya abaikan.
Setelah itu, kondisi keuangan orang tua makin memburuk. Bisnis ditipu ditambah dengan krisis rumah tangga. Saya tahu diri untuk tidak menambah beban mereka. Di saat yang sama buku-buku kedokteran itu harganya mahal. Saya tidak mampu bahkan memfotokopinya seperti yang banyak teman-teman lain lakukan. Tapi Allah senantiasa memompakan semangat dan inspirasi. Ada buku yang bisa saya pinjam dari perpustakaan, sedangkan sisanya saya pinjam di malam hari dari teman kost sebelah saya. Sengaja saya izin pinjam saat dia tidur agar tidak mengganggu waktu belajarnya. Semalaman saya akan terjaga menyalin semua isi buku sampai terbentuk cekungan di jempol dan jari telunjuk saya karena menulis puluhan halaman tanpa henti.
Kadang, saat uang bekal sudah menipis saya mencoba tahan selama mungkin agar tidak sedikit-sedikit meminta tambahan kepada orang tua. Caranya adalah dengan menghemat biaya makan, yaitu hanya makan nasi seharga 500 perak per bungkus dengan kerupuk pedas yang sedap. Enaknya...:)
Itu sekilas perjuangan saat kuliah dulu. Alhamdulillah lulus juga :)
Setelah itu roda kehidupan kembali naik. Punya penghasilan lebih dan bisa jalan-jalan ke luar negeri. Tapi, pengalaman dulu pernah Allah perjalankan ke episode prihatin sungguh tak terlupakan. Tanpa itu mungkin saya akan jadi orang yang cengeng dan manja and taking things for granted.
Pengalaman disempitkan dalam kehidupan mengajari saya untuk mensyukuri hal-hal yang kerap kita anggap sepele. Seperti tidur di atas kasur yang empuk, punya bekal cukup untuk sekolah setiap hari, makan dengan lauk pauk. Simple things in life yang sering kita lalai untuk sekadar berucap syukur atasnya.
Pengalaman itu menempa hati saya juga jadi biasa-biasa saja dalam memegang dunia. Adanya syukur - ga usah lebay dan sombong. Tidak adanya tak perlu panik dan kecil hati. Jalani saja hidup itu dengan suka cita. Semua akan indah pada saatnya <3
Amsterdam 6 Februari 2023, musim dingin bersuhu 4 C seperti di dalam kulkas ;)
ceritanya sangat menarik dan menginspirasi, izin berbagi untuk anak2ku agar pandai bersyukur dalam segala hal dan segala keadaan. terimakasih
ReplyDelete