Tuesday, November 21, 2017

Menatap Cermin Kehidupan

Saya punya cermin yang bisa berbicara, namanya Elia. Anaknya sangat peka, kalau wajah saya tegang karena kesal dia akan langsung mendekat dan bertanya "Ben je boos?"(apakah mama marah?) dan dia akan terus bertanya sampai raut wajah saya kembali ceria. Kalau saya sedang kesal sama adiknya, Elia yang kembali datang dan bilang "Als mama boos is dan heb ik keelpijn..." (kalau mama marah, tenggorokanku sakit) - sambil merayu memeluk mamanya.
Melalui episode mengasuh dua balita ini saya jadi ditunjukkan ada kadar-kadar marah dan ketidaksabaran tertentu dalam diri. Alhamdulillah ada bahan untuk meminta ampun.
Manusia tidak mungkin sanggup melihat wajahnya sendiri. Ia butuh cermin untuk melihat keadaannya. Adapun kehidupan sekitar kita adalah cermin yang sangat canggih dan indah yang memantulkan kondisi dada (shadr) dan hati (qalb) kita per saat itu. Bisa jadi bayangannya berbentuk yang menyenangkan, namun tidak jarang berwujud hal yang menyedihkan bahkan menyakitkan. Di tempat kerja kadang berhadapan dengan orang yang judes bahkan memfitnah kita, kalau respon awal kita marah dan membalas keburukannya, maka luputlah dari melihat kondisi diri kita yang sebenarnya. Gesekan yang paling intens biasanya datang dari keluarga atau pasangan sendiri. Berbagai dinamika yang menyertai bagaikan gerinda yang memperhalus cermin hati. Jika kita terpaku hanya sekadar menyalahkan si dia dan melewatkan kesempatan untuk bertafakur demi melihat Allah sedang ingin menunjukkan titik yang mana dalam hati, maka sudah habis saja episodenya lewat dan hanya menyisakan kekesalan yang abadi.
Ini yang dimaksud sebagian besar manusia ketika meninggal dunia lalai mengisi kantung rezeki batinnya. Kalau masalah kantung rezeki lahir jangan khawatir sudah dijamin, dalam hadits bahkan disebutkan rezeki lahir itu lebih cepat larinya dibanding kematian seseorang. Artinya kalau seorang sudah habis jatah usianya di dunia, pasti ia telah diberikan hak lahiriyahnya. Akan tetapi hak batin seperti ilmu, kesabaran, kebersyukuran, rasa keadilan, kebijaksanaan dan lain-lain itu hanya bisa diraih jika seseorang mau menyelami penggal demi penggal episode kehidupannya dengan perenungan (tafakur) yang dalam. Dan bertafakur itu bukan hal yang mewah, tidak perlu dilakukan di ruang meeting hotel bintang lima. Kita bisa bertafakur saat menerjang kemacetan sehari-hari, seorang ibu bisa bertafakur sambil menyuapi makan anak-anaknya, seorang pekerja pabrik bisa bertafakur sambil mengurai helai demi helai benang, seorang rukang batu bisa bertafakur seiring dengan irama palunya dan seterusnya.
Demikian pentingnya menyisakan ruang perenungan dalam diri ini hingga dikabarkan dalam hadits "Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah 60 tahun." Dengan berpikir kita mengaktivasikan potensi tertinggi manusia, yaitu aspek perenungannya. Dan hanya dengan itu manusia terlepas dari fenomena kehidupan yang sepertinya itu-itu saja, dari pertikaian yang itu lagi-itu lagi, dari doa yang lama tidak dikabul dan lain-lain hal yang membuatnya sesak dada. Agar ia bisa melihat rencana Ilahiyah di balik itu semua dan mengerti kebaikan yang terkandung di balik hal yang akal pikirannya sendiri tidak sanggup untuk mencernanya.
Allah itu Maha Baik, Ia ingin kita menjadi manusia seutuhnya, bukan robot kehidupan yang mengejar sesuatu dan menyelesaikan masalah secara horizontal semata yang tidak ada habisnya. Ada kerajaanNya yang jauh lebih kaya dan dahsyat di balik segala dunia bayangan ini yang menanti untuk dilimpahkan kepada kita semua. Syaratnya hanya satu, tatap baik-baik cermin diri masing-masing.

No comments:

Post a Comment