Kehidupan masyarakat Barat dengan semua kemegahan budaya, kecanggihan teknologi dan kemapanan material sesungguhnya menciptakan ilusi bahwa penderitaan itu tidak ada. Saya menyebutnya sebagai "kultur kebahagiaan (semu)". Kita melihat orang berlomba memamerkan kebahagiaannya di sosial media, menyelenggarakan pesta-pesta dan melakukan tamasya mewah apapun yang membuat mereka bahagia. Saya tentunya tidak menentang mereka yang ingin menikmati kehidupannya, akan tetapi pada saat yang bersamaan saya juga memerhatikan tidak sedikit orang yang sedemikian rupa melarikan diri dari rasa sakit dan memilih jalan pintas yang tidak menyelesaikan akar masalahnya. Mereka pergi ke dokter dan berkata "Aku selalu memasang foto-foto bahagia di facebook tapi sebenarnya hatiku kosong dan sering kesepian, adakah pil yang dapat membantuku tenang?"
Oleh karenanya psikiater selalu dicari orang, mereka yang sekadar ingin meredam rasa sakit meregang beban kehidupan dengan sebutir pil. Generasi sekarang sudah terlalu lama dimanjakan oleh kenyamanan hidup, mereka tidak mengenal lapar dan peperangan. They take life for granted. Hidup yang terlalu nyaman itu membuat otot-otot ketabahan dan kesabaran mereka kurang terlatih. Padahal segala sesuatu membutuhkan proses dan waktu, tidak hanya itu kesedihan dan penderitaan adalah bagian kehidupan yang tidak terpisahkan, bagaikan siang dan malam semua hal akan silih berganti. Setiap orang, tanpa kecuali akan menghadapi sakit, masa tua dan kematian. That's life...
(Adaptasi dan terjemahan dari wawancara dengan Dirk De Wachter, psikiater dan pengajar di Katholieke Universiteit Leuven yang dimuat di koran Trouw, 14 April 2017)
No comments:
Post a Comment