Friday, January 14, 2022

 Kesaksian seorang perempuan Rusia tentang ketakutan dalam hidup


Saya lahir sekitar tahun 1990-an di Rusia - saat itu masih Uni Sovyet - dan itu adalah saat dimana satu persatu negara yang dulunya jadi bagian dari Uni Sovyet mulai mendeklarasikan kemerdekaan dirinya dimulai dengan Estonia.


Orang tua saya bercerai ketika saya berusia 2 tahun. Saya hanya bertemu dengan ayah saya pada saat saya berusia 6 dan 14 tahun jadi praktis saya bertumbuh tanpa kehadiran seorang figur ayah. Tapi saya beruntung ada kakek dan nenek saya yang mengisi kekosongan itu, selain tentu saja ibu saya yang seorang pekerja keras.


Perubahan politik yang terjadi membawa krisis di negara kami. Bahkan kehidupan sehari-hari bagi keluarga saya yang punya pekerjaan bagus  pun cukup sulit. Saya ingat gaji bisa terlambat 6 bulan lamanya dan kami harus bisa bertahan hidup dengan apa yang ada. 


Demikianlah saya dibesarkan dalam situasi ekonomi dan politik yang sempit juga mencekam. Rasanya itu memberi pengaruh yang kuat kepada bagaimana saya merespon kehidupan saat ini. Saya menjadi takut untuk jatuh miskin dan dalam keadaan tak berdaya, sehingga saya akan bekerja demikian keras untuk tidak berada dalam situasi seperti itu. Apalagi dengan sekarang saya memiliki anak, saya pun dihantui oleh kekhawatiran jangan-jangan anak saya tidak bisa memiliki masa depan yang cerah.


Lama kelamaan saya mulai merasa lelah didera dengan ketakutan seperti itu siang dan malam. Sebuah ketakutan yang tak beralasan sebenarnya karena pada kenyataanya kami punya tempat berlindung dan tidak dalam kondisi kelaparan, bahkan berlebih. Saya jadi memahami bahwa semua ketakutan itu adalah suatu skenario yang pikiran saya hembus-hembuskan sendiri, bisa jadi karena pernah ada memori di masa lalu yang belum diproses dengan baik.


Saya mulai belajar untuk berdamai dengan kehidupan, apapun warnanya. Dengannya saya mulai lebih bisa rileks dan nyaman menjalaninya. Seiring dengan itu segala keluhan fisik seperti sakit kepala yang dulu saya kerap keluhkan pun mulai reda. Saya belajar bahwa mengkhawatirkan tentang masa depan adalah sebuah kegilaan yang tak berdasar. Dan saya bertekad untuk terbebas dari hal tersebut...


(Based on true story)


No comments:

Post a Comment