Allah ‘Azza wajalla berfirman (hadits Qudsi):
“Tidak semua orang yang shalat itu bershalat.
Aku hanya menerima shalatnya orang yang merendahkan diri kepada keagunganKu, menahan syahwatnya dari perbuatan haram laranganKu dan tidak terus-menerus (ngotot) bermaksiat terhadapKu, memberi makan kepada yang lapar dan memberi pakaian orang yang telanjang, mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku.”
(HR. Ad-Dailami)
“Tidak semua orang yang shalat itu bershalat.
Aku hanya menerima shalatnya orang yang merendahkan diri kepada keagunganKu, menahan syahwatnya dari perbuatan haram laranganKu dan tidak terus-menerus (ngotot) bermaksiat terhadapKu, memberi makan kepada yang lapar dan memberi pakaian orang yang telanjang, mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku.”
(HR. Ad-Dailami)
Seorang rasul dan kekasih Allah bernama Ibrahim a.s. melantunkan doa yang diabadikan dalam Al Qur'an, "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat."
Shalat yang dimaksud bukan sekedar shalat yang berbentuk ritual atau aktivitas fisik untuk menunaikan kewajiban, oleh karenanya kata yang dipilih Allah Ta'ala dalam Al Qur'an adalah 'mendirikan' shalat bukan 'mengerjakan' shalat.
Shalat yang dimaksud bukan sekedar shalat yang berbentuk ritual atau aktivitas fisik untuk menunaikan kewajiban, oleh karenanya kata yang dipilih Allah Ta'ala dalam Al Qur'an adalah 'mendirikan' shalat bukan 'mengerjakan' shalat.
Firman Allah Ta'ala yang tertuang dalam Hadits di atas memberi arahan pribadi macam apa yang ditempa dengan shalat yang baik;
* Merendahkan diri kepada keagungan Allah Ta'ala
Keagungan-Nya terbentang di setiap atom dan nafas dalam kehidupan. Tidak ada satu titik di dunia ini mewujud dengan sia-sia. Adalah mudah kemudian untuk mengakui kebesaran dan keagungan-Nya dengan melihat fenomena alam yang menakjubkan. Akan tetapi fenomena sosial, ekonomi, politik bahkan hal-hal yang bermanifestasi sebagai bencana pun pada hakikatnya adalah datang dari keagungan-Nya.
Praktisnya, saat hati masih mengeluh atau marah kepada salah satu takdir-Nya tanda hati kita masih belum mengerti karsa-Nya dan manakala ketidakterimaan itu menggejala menjadi kemarahan dan kesombongan yang diluapkan kepada makhluk-makhluknya, sebenarnya saat itu ia sedang tidak merendahkan diri kepada-Nya.
Keagungan-Nya terbentang di setiap atom dan nafas dalam kehidupan. Tidak ada satu titik di dunia ini mewujud dengan sia-sia. Adalah mudah kemudian untuk mengakui kebesaran dan keagungan-Nya dengan melihat fenomena alam yang menakjubkan. Akan tetapi fenomena sosial, ekonomi, politik bahkan hal-hal yang bermanifestasi sebagai bencana pun pada hakikatnya adalah datang dari keagungan-Nya.
Praktisnya, saat hati masih mengeluh atau marah kepada salah satu takdir-Nya tanda hati kita masih belum mengerti karsa-Nya dan manakala ketidakterimaan itu menggejala menjadi kemarahan dan kesombongan yang diluapkan kepada makhluk-makhluknya, sebenarnya saat itu ia sedang tidak merendahkan diri kepada-Nya.
*Menahan diri dari perbuatan syahwat dan maksiat kepada Allah Ta'ala.
Langkah pertama untuk dapat melakukan hal ini adalah dengan menuntut ilmu untuk mengetahui mana koridor yang Sang Pencipta ingin kita jalani dalam melakoni hidup.
Setelah mengetahui maka ilmu itu harus diuji dalam keseharian, makin lama dan dalam interaksi hati kita dengan Allah Ta'ala maka makin akan diajarkan hal-hal yang halus, jauh menembus manifestasi lahiriyah.
Misalnya maksiat yang dikenal kemudian bukan hanya menghindari diri dari zina secara badan, tapi juga zina mata dan berbagai kelebat zina dalam hati. Karena bersuluk adalah menempa aspek rasa jauh sebelum ia mewujud menjadi karsa, cipta dan karya.[]
Langkah pertama untuk dapat melakukan hal ini adalah dengan menuntut ilmu untuk mengetahui mana koridor yang Sang Pencipta ingin kita jalani dalam melakoni hidup.
Setelah mengetahui maka ilmu itu harus diuji dalam keseharian, makin lama dan dalam interaksi hati kita dengan Allah Ta'ala maka makin akan diajarkan hal-hal yang halus, jauh menembus manifestasi lahiriyah.
Misalnya maksiat yang dikenal kemudian bukan hanya menghindari diri dari zina secara badan, tapi juga zina mata dan berbagai kelebat zina dalam hati. Karena bersuluk adalah menempa aspek rasa jauh sebelum ia mewujud menjadi karsa, cipta dan karya.[]
No comments:
Post a Comment