Monday, March 31, 2025

Agar hanya memandang Dia

 Kedatangannya dari Allah, kepergiannya pun karena Allah.

Kesehatan dari Allah, sakit pun dari Allah.

Suka cita dari Allah, kesedihan pun Allah yang mendatangkan.

Kesuksesan dari Allah, kegagalan pun Allah yang mempergilirkan.

Jatuh cinta dari Allah, hilangnya perasaan pun Allah yang mencabutnya.

Kehidupan dari Allah, kematian pun sesuatu yang Dia tetapkan.

Kelapangan dari Allah, saat sempit pun Dia yang hadirkan.

Kehidupan akan selalu begitu, berganti antara siang-malam, luang-sempit, tangis-tawa, riang-duka, seperti denyut jantung yang berganti antara kontraksi dan dilatasi, seperti ritme nafas yang bergiliran antara inspirasi dan ekspirasi. Itulah tanda kehidupan. Ikuti saja aliran kehidupan dengan bersyukur, agar jiwa kita tetap hidup.


Ballorig, Amsterdam, 31 Maret 2025 / 1 Syawwal 1446 H

11.34

Sepuluh tahun kemudian

 Pagi ini, saya bawa anak-anak ke tempat bermain dimana dulu hampir setiap hari kami menghabiskan waktu di sana. 

Tempatnya masih sama seperti dulu. Setiap detil, setiap mainan, setiap sudut. Bahkan bau khas yang sama. 

Sepuluh tahun telah berlalu. Dunia sekitar masih sama, tapi anak-anak sudah tumbuh berkembang. Saya pun bukan orang yang sama dengan saya sepuluh tahun yang lalu. Satu dekade bukan waktu yang singkat untuk mencecap semua asam-manis kehidupan. Tapi masih terlalu singkat dibandingkan kehidupan kita di alam-alam berikutnya.

Berada di tempat ini kembali membuat saya merenung. Betapa cepatnya kehidupan berlalu. Apakah sudah cukup berbekal untuk akhirat? Apakah sudah meraih yang terbaik dengan apa-apa yang Allah sudah siapkan untuk kita masing-masing? Agar jangan sampai 10 tahun kembali berlalu tapi hati masih mudah diombang-ambing oleh permasalahan dunia, karena tidak pernah tawakal betul kepada Allah. Agar jangan sampai 10 tahun kembali berlalu tapi kita masih disibukkan dengan urusan dunia dengan kehilangan ma’rifat kepada Allah yang akhirnya kita kehilangan saat memaknai kehidupan dengan dalam. 

Ah, hidup terlalu luar biasa untuk dilewatkan begitu saja dengan hanya sibuk berpikir tentang uang, ambisi dan sekian kemewahan yang ditawarkan dunia. I want more than that…jiwaku menginginkan sesuatu yang pernah dia saksikan sebelumnya. Sebuah kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata yang fisik ini…Sampaikan kami ya Allah…


Ballorig, Amsterdam 31 Maret 2025 / 1 Syawwal 1446

10.12



Friday, March 28, 2025

Agar jernih hati menghadapi keburukan orang lain

 Memang salah satu hal yang paling sulit adalah mengenali keburukan diri sendiri. Seperti kata pepatah, 

"Kuman di seberang laut nampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak"

Lebih mudah melihat keburukan orang dan menghakimi orang dengannya dibanding berani memandang keburukan diri sendiri dan mengakui keadaan diri di saat itu apa adanya.Sering, saat keburukan ditampakkan oleh Allah di cermin semesta kehidupan kita, respon kita malah melempar cermin itu. Lagi-lagi seperti kata pepatah, 

"Buruk rupa cermin dibelah"

Mungkin yang tampak adalah pasangan yang rewel atau nyebelin. Atau kelakuan anak yang bikin kita mengelus dada banyak-banyak. Atau tingkah polah rekan kerja yang bikin aksi atau fitnah sedemikian rupa yang membuat kita emosi. Tapi kalau pandangan kita terpaku pada "bayangan-bayangan dalam cermin" dengan tanpa melihat obyek yang sebenarnya, maka semua pertolongan dari Allah untuk membaca diri dan mengenal jiwa kita itu menjadi sia-sia bahkan menjadi bumerang yang menambah tumpukan penyakit hati.

Maka mesti sabar menghadapinya. Kesel sih iya, pengennya meluapkan kemarahan. Justru pelajaran awal bagi para salik - pejalan menuju Allah - menurut Ibnu Arabi dalam bukunya "Adab para Salikin" adalah agar kita menahan marah. Kalaupun marah, upayakan agar tidak kelihatan marah. Nah, gimana tuh, tidak mudah tentunya tanpa pertolongan Allah. Justru itu, memang desain dunia akan dibuat sedemikian rupa agar kita merasa fakir, butuh betul pertolongan Allah di setiap saat.

Jadi ingat, saat melihat keburukan di saudara kita. Respon hati harus istighfar dan minta Allah yang mencabut keburukan di hati kita, karena dunia sekitar kita adalah cermin tiga dimensi yang demikian canggih yang merefleksikan kondisi hati dari saat ke saat. Kalau isi hati cahaya maka akan terpancar sebagai kebaikan. Sebaliknya jika di bagian hati ada kegelapan maka akan terwujud menjadi keburukan. Istighfar dan mohon Allah mengampuni. Sebagaimana kata Imam Ali, "Cabutlah kejahatan yang ada di saudaramu dengan mencabutnya dari dadamu."

Amsterdam, musim semi yang panas-dingin 28 Maret 2025, jelang akhir Ramadhan dan ujian mendapat rekan kerja yang alhamdulillah nyebelin. Astaghfirullah, cermin hati...

Tuesday, March 11, 2025

Kenali suara hawa nafsu

 


“…dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkanmu dari jalan Allah” 

(Q.S. Shad: 26)

Yang membuat kita susah bersyukur adalah hawa nafsu yang masih mendominasi. Dia senang sekali memaksakan agendanya hingga membuat kita pontang-panting menghadapi aliran takdir kehidupan yang telah Allah gariskan. Wajar, karena hawa nafsu adalah entitas di dalam manusia yang terbentuk di alam dunia, setelah jiwa dan raga kita dipersatukan di dalam rahim ibunda. Hawa nafsu tidak mengenal Allah karena dia tidak hadir di Alam Alastu (Alam Penyaksian) yang disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam Al Quran, 

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap jiwa mereka sendiri (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Rabbmu (alastu birabbikum)?" Mereka menjawab, "Betul, kami bersaksi (bala syahidna)." (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, "Sesungguhnya kam lengah terhadap hal ini." 

(QS Al A'raaf [7]:172)

Adalah jiwa kita yang diberi pengetahuan tentang bagaimana menempuh perjalanan di dunia dan alam-alam berikutnya. Oleh karenanya jika kita hanya mengandalkan kemampuan raga beserta akal pikiran yang ada hanya akan dibuat sulit dan terseret-seret dalam menjalani goresan pena takdir kehidupan. Karena akan ada hal-hal yang tak terjangkau oleh pertimbangan logika manusia. Yang akhirnya manusia cenderung menjadi mengeluhkan kehidupannya dan tidak menerima ketetapan Allah. Dia akan tersesat dalam rimba belantara kehidupan sambil berupaya keras mencari solusi kehidupan pada arah horizontal hingga kepayahan dan akhirnya patah. Apa yang dia cari hanya fatamorgana alam dunia yang fana. Maka, ingatlah bahwa diri kita yang sebenarnya adalah jiwa kita. Cari itu. Rasakan kehadirannya dengan terus menerus mengasah cermin hati. Ikuti syariat Muhammad SAW, karena itu adalah jalan kebangkitan jiwa. Agar kita tidak merana terus dalam kehidupan karena terus didikte oleh suara hawa nafsu dari dalam diri.[]

Amsterdam, 11 Maret 2025 / 11 Ramadhan 1446

Siang hari di musim semi yang berawan. Jelang waktu Dhuhur, 12.50 


Monday, March 10, 2025

Dunia memang dibuat tidak nyaman

 Merasa berat menjalani kehidupan?

Hari ke hari sepertinya seperti beban yang tanpa henti?

Rasanya mumet terus pikiran dan hati ruwet?

Desain kehidupan dunia memang dibuat agar manusia tidak merasa nyaman di dalamnya. Ini hal yang kita sering lupa. Bahwa kita hanya sekadar singgah di alam ini, mengumpulkan bekal dan berjalan ke alam lain dalam sebuah perjalanan panjang. Nabi Isa a.s. berkata, "Dunia adalah bagaikan jembatan. Dan tidak ada orang yang membangun rumah di atas jembatan." Rumah adalah lambang sebuah status quo atau kenyamanan. Bukan berarti Allah tidak ingin kita menikmati kehidupan. By all means, berbahagialah dan nikmati setiap saat yang ada. Akan tetapi agar kita tidak tenggelam dalam dunia dan lupa orientasi akhirat dan jangan panjang kita. 

Masalah itu karenanya adalah sebuah hal yang melekat dalam kehidupan dunia. Dan manusia sebenarnya perlu diselimuti oleh takdir yang berupa masalah dan kesempitan hidup. Karena kalau hidup lapang dan mudah kita akan cenderung lupa Allah dan tidak menghadap kepada-Nya. Sementara kematian selalu mengintai dan kita akan kehilangan ma'rifat. Na'udzubillahimindzaalik. 

Karena masalah itu bagian dari kehidupan maka kita tidak perlu kaget dengan hadirnya ujian karena hati sudah selalu pasang kuda-kuda. Berikutnya, langkah paling cerdas untuk menghadapi masalah - apapun itu - adalah bertanya dan meminta panduan kepada Dia yang mengirimkan semua itu, karena hanya Dia yang mengetahui respon yang paling tepat dalam menghadapinya dan apa, bagaimana serta kapan tibanya jalan keluar yang terbaik. Jika kita selalu berupaya untuk berserah diri kepada qadha (ketetapan)-Nya dan mengembalikan semua kepada-Nya, hidup jadi lebih ringan dijalani. Bukan berarti masalah tiba-tiba hilang dalam sekejap. Dia mungkin masih ada dan kita masih harus sabar menjalaninya bahkan bertahun-tahun lamanya. Tapi kesadaran dan pengetahuan yang Allah teteskan ke dalam dada kita akan membuat kita menjadi lebih memaknai setiap episode kehidupan, sepahit dan seberat apapun itu. Kesadaran itu yang membuat kita lebih ringan dan hati bisa tersenyum dalam menjalaninya. 

Jadi, kuncinya, libatkan selalu Allah. Karena Dia selalu menanti kesiapan kita dalam taubat, kembali menghadapkan diri kepadanya.

Amsterdam, musim semi yang hangat, 10 Maret 2025 / 10 Ramadhan 1446 H

Friday, March 7, 2025

Ketika tawakal kita terpeleset

 Kadang kita tidak sadar kalau beberapa kali dalam hidup tawakal kita terpeleset jadi tidak mengandalkan Allah. Atau sebagian mengandalkan Allah sebagian lagi mengandalkan lainnya.

Kita yang terpeleset tawakalnya dengan berpikir bahwa kalau bekerja di perusahaan yang keren itu akan menjamin masa depan dan rezeki.

Kita yang tergadaikan tawakalnya dengan menduga kalau anak sekolah di sekolah yang itu akan sukses hidupnya.

Kita yang rusak kemurnian tawakalnya dengan berburuk sangka kepada Allah bahwa jika kita kehilangan pekerjaan atau gagal bisnis maka keluarga akan kelaparan, seakan Allah tidak berkuasa mendatangkan rezeki dari tempat lain.

Demikianlah, kita telah sekian lama tercelup di dalam dunia sebab akibat, akhirnya menganggap remeh kuasa dan keajaiban-Nya. Terlalu tersihir akal pikirannya bahwa jika tidak A maka tidak akan B. Seakan tak ada jalan lain untuk terbukanya kesempatan dan perubahan selain dari apa yang benak kita bisa bayangkan. Padahal “Allahu Akbar” kita ucapkan, setidaknya 94 kali dalam sehari. Mengatakan “Allah Maha Besar” tapi ketika berhadapan dengan konflik kehidupan dan kesulitan ekonomi kadang masalah itu yang terasa “akbar” dibanding kebesaran Kuasa Allah. Ternyata, kalau boleh jujur, banyak takbit kita baru hanya ucapan di bibir saja. Adalah ujian keseharian yang menampakkan keadaan hati kita, apakah benar tawakalnya kepada Allah atau bukan.[]

Amsterdam , Jumat,  5 Maret 2025 / 5 Ramadhan pukul 16.02

Di dalam mobil di tempat parkir sambil menunggu Rumi yang semangat les biola.

Ngatur-ngatur Tuhan

 Kita yang merasa shalih dan beragama ini tidak sadar bahwa kita kerap mengatur-ngatur Tuhan. 

Saat kita berpikir, "Duh coba punya mobil ya, aku akan sering ke pengajian sambil bawa teman dan keluarga." Kita merasa keadaan yang ada sekarang tidak ideal untuk pergi ke pengajian. Padahal kalaupun Allah beri mobil belum tentu diberi keinginan ngaji dan keberkahannya malah jadi kurang karena hati malah ujub, merasa diri lebih mulia dari orang yang jalan atau naik angkutan umum. 

Saat kita berpikir, "Wah repot nih ngurus si kecil. Coba kalau punya pembantu, aku bisa ngaji dan belajar lebih banyak." Padahal kalaupun diberi selusin pembantu belum tentu dia tergerak untuk ngaji dan efektif waktunya untuk belajar. 

Saya pernah merasakan hal yang mirip. Merasa ingin menyelesaikan menerjemahkan sebuah buku sambil repot mengurus dua anak yang masih berusia balita saat itu. Suatu hari saya bertekad ngebut mengejar beberapa bab penerjemahan dengan menitipkan anak selama setengah hari kepada baby sitter dan saya keluar mencari tempat untuk bekerja. Apa yang terjadi? Jalannya penerjemahan tidak selancar biasanya. Entah kenapa otak saya kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang pas. Setelah itu kok gelombang ngantuk datang tidak henti-hentinya. Alhasil, waktu sekian jam yang niatnya ingin produktif menerjemahkan tidak tercapai. Saya lupa, Allah-lah yang memberi inspirasi dan kekuatan untuk menerjemah. Walaupun kita berupaya mengkondisikan kehidupan tapi kalau Allah tidak beri kemampuannya maka tetap saja tidak jalan! Sebuah pelajaran yang berharga buat saya.

Jadi, hidup itu simpel sahabat. Tidak perlu ngatur-ngatur Tuhan atau mendikte-Nya dengan membuat sebuah persyaratan-persyaratan, "Kalau begini saya akan begitu" Siapa yang menjamin? Kita memang suka sok tahu. Merasa skema yang ada di benak kita lebih baik dari pengaturan-Nya. Astaghfirullahaladziim.

Amsterdam, 7 Maret 2025 / 7 Ramadhan 1446 H

14.58

Bahagia itu sederhana

 Menjadi bahagia itu sederhana.

Ia tak perlu syarat ini dan itu.

Tak perlu kemewahan dunia atau pengkondisian tertentu.

Memang kita kadang membuat susah diri sendiri dengan membuat batasan tentang kebahagiaan. 

"Aku akan bahagia kalau sudah menikah". Jadinya selama masa penantian kurang bahagia jadinya. 

"Aku akan bahagia kalau bisa beli rumah". Jadinya selama menabung sampai masanya tiba bisa membeli rumah jadi merasa kurang bahagia.

"Hidupku akan sempurna jika punya anak". Akhirnya setiap kali gagal mendapat anak dia merasa semakin terpuruk.

Kenapa harus membuat syarat untuk bahagia alih-alih membiarkan rasa bahagia itu datang dengan sendirinya. Karena bahagia itu adalah ketika kita mensyukuri apa yang ada, di saat ini, di detik ini, di bumi yang kita pijak hari ini juga. Jika kita bisa tersenyum kepada ketetapan-Nya dan menerima dengan tulus. Itulah bahagia. Tak perlu syarat apapun. Bahkan di tengah kekalutan dan kisruhnya kehidupan pun kita masih bisa merasa bahagia. Bukan berarti harus tertawa dan nampak ceria terus. Karena kita bahkan bisa merasa 'bahagia' di tengah kesedihan yang melanda. Bahagia karena tahu bahwa Allah senantiasa memegang kita. Bahwa semua kejadian terjadi dengan izin-Nya. Dan kalau Dia mengizinkan sesuatu terjadi pastilah banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya. Itu yang coba kita gali. Asal sabar saja. 

Jadi, mari kita berbahagia dengan kondisi apapun yang ada. Semua datang dari goresan takdir-Nya Yang Maha Adil dan Maha Penyayang. Hidup itu sederhana wahai sahabat. Jangan dibuat jadi rumit!

Amsterdam, di musim semi yang hangat.

Jumat, 7 Maret 2025 / 7 Ramadhan 1446 H. Pukul 14.50

Tuesday, March 4, 2025

 Embracing the dance of uncertainty in life.

For uncertainty plays a crucial note in the grand symphony of life. It humbles us and shape us into a being who surrender. And that’s the only way to experience the Divine power within.

Amsterdam, sunny morning 4 March 2025 / 4 Ramadhan 1446 H. 10.38

Monday, March 3, 2025

There is nothing like fasting

 There is nothing like fasting.

The Prophet SAW said, 

"Allah said, "Every good deed of sons of Adam is for himself except fasting; it is for Me and I shall reward (he fasting person) for it." Verily, the smell of the mouth of a fasting person is better to Allah than the smell of musk."

What a wonderful thing when Allah claimed something and said "it's for Me". It is indeed for Allah. Like everything else, it should for Allah only. And yet it is so humble of Allah to say "fasting is for Me". It's wonderful to feel this.

Fasting (shaum) is indeed different with any other rituals like shalat, hajj or zakat. Fasting is like "doing nothing". We emptied ourselves to be able to become His vessels. Ready to be poured upon to. Hopefully He uses us. And there is no greater honor than that. To be used by Him.

Amsterdam, 3 March 2025 / 3 Ramadhan 1446 H

14.31



Sehilal purnama kehidupan

 Perjalanan kehidupan ini adalah untuk mengenal-Nya. 

Itulah orientasi dalam kehidupan. Kesadaran ini membuat kita menjadi memandang segala sesuatunya berbeda dan menjadi bisa memaknai dengan dalam apa-apa yang telah Allah izinkan terjadi dalam aliran takdir kehidupan. Terutama membantu kita dalam menerima dan mengambil hikmah dari tragedi kehidupan atau sisi kelam yang bagaimanapun Allah telah tuliskan dan menjadi bagian dari kisah hidup kita. 

Hitam - putih kehidupan, suka - duka, siang - malam, keluangan - kesempitan, sakit - sehat, tertawa - menangis adalah bagian dari kehidupan di dunia. Sesuatu yang menumbuhkan sesuatu di dalam jiwa kita. Karena kualitas pemaaf hanya tumbuh ketika ada sesuatu kesalahan yang dimaafkan. Sebab sabar hanya tumbuh ketika kita harus menahan sesuatu atau mendera sesuatu yang tidak mengenakkan atau sesuatu yang melmpah.  Natur kehidupan adalah seperti tarikan nafas dan hembusan nafas. Juga seperti detak jantung yang berkontraksi dan berelaksasi. Itulah tanda-tanda kehidupan. Tanpa malam, siang hanya akan menghancurkan isi bumi karena akan terlalu panas. Tanpa kehadiran siang, bumi akan beku dan tak akan ada kehidupan yang tersisa di dalamnya. 

Allah Ta'ala mempergantikan siang dan malam, suka dan duka agar jiwa kita hidup dan bertumbuh. Semua sajian takdir kehidupan yang kerap membuat kita jatuh bangun dan pontang-panting dalam menghadapinya itu baru sehilal cahaya purnama pengenalan dari-Nya. Rasulullah SAW bersabda ketika beliau memandang  kepada bulan purnama, 

"Sesungguhnya kalian akan memandang Rabb sebagaimana kalian memandang bulan ini. Kalian tidak berdesakan ketika kalian memandang Allah." (HR Bukhari No.554)

Jadi, jangan sampai kehidupan menaklukkan kita dan membuat kita putus asa, kehilangan arah dan orientasi kehidupan dan tidak fokus menjalani hari-hari. Bukankah kita punya Allah yang selalu siap menolong kapanpun? Barangkali kita yang kurang serius dalam meminta pertolongan-Nya. Agar kita meraih yang terbaik dalam pagelaran pengenalan sehilal purnama kehidupan ini.[]

Amsterdam, musim semi yang dingin tapi cerah

Senin, 3 Maret 2025 (Ramadhan hari ketiga). 14.12 siang.