Kadang kita tidak sadar kalau beberapa kali dalam hidup tawakal kita terpeleset jadi tidak mengandalkan Allah. Atau sebagian mengandalkan Allah sebagian lagi mengandalkan lainnya.
Kita yang terpeleset tawakalnya dengan berpikir bahwa kalau bekerja di perusahaan yang keren itu akan menjamin masa depan dan rezeki.
Kita yang tergadaikan tawakalnya dengan menduga kalau anak sekolah di sekolah yang itu akan sukses hidupnya.
Kita yang rusak kemurnian tawakalnya dengan berburuk sangka kepada Allah bahwa jika kita kehilangan pekerjaan atau gagal bisnis maka keluarga akan kelaparan, seakan Allah tidak berkuasa mendatangkan rezeki dari tempat lain.
Demikianlah, kita telah sekian lama tercelup di dalam dunia sebab akibat, akhirnya menganggap remeh kuasa dan keajaiban-Nya. Terlalu tersihir akal pikirannya bahwa jika tidak A maka tidak akan B. Seakan tak ada jalan lain untuk terbukanya kesempatan dan perubahan selain dari apa yang benak kita bisa bayangkan. Padahal “Allahu Akbar” kita ucapkan, setidaknya 94 kali dalam sehari. Mengatakan “Allah Maha Besar” tapi ketika berhadapan dengan konflik kehidupan dan kesulitan ekonomi kadang masalah itu yang terasa “akbar” dibanding kebesaran Kuasa Allah. Ternyata, kalau boleh jujur, banyak takbit kita baru hanya ucapan di bibir saja. Adalah ujian keseharian yang menampakkan keadaan hati kita, apakah benar tawakalnya kepada Allah atau bukan.[]
Amsterdam , Jumat, 5 Maret 2025 / 5 Ramadhan pukul 16.02
Di dalam mobil di tempat parkir sambil menunggu Rumi yang semangat les biola.
No comments:
Post a Comment