Kita yang merasa shalih dan beragama ini tidak sadar bahwa kita kerap mengatur-ngatur Tuhan.
Saat kita berpikir, "Duh coba punya mobil ya, aku akan sering ke pengajian sambil bawa teman dan keluarga." Kita merasa keadaan yang ada sekarang tidak ideal untuk pergi ke pengajian. Padahal kalaupun Allah beri mobil belum tentu diberi keinginan ngaji dan keberkahannya malah jadi kurang karena hati malah ujub, merasa diri lebih mulia dari orang yang jalan atau naik angkutan umum.
Saat kita berpikir, "Wah repot nih ngurus si kecil. Coba kalau punya pembantu, aku bisa ngaji dan belajar lebih banyak." Padahal kalaupun diberi selusin pembantu belum tentu dia tergerak untuk ngaji dan efektif waktunya untuk belajar.
Saya pernah merasakan hal yang mirip. Merasa ingin menyelesaikan menerjemahkan sebuah buku sambil repot mengurus dua anak yang masih berusia balita saat itu. Suatu hari saya bertekad ngebut mengejar beberapa bab penerjemahan dengan menitipkan anak selama setengah hari kepada baby sitter dan saya keluar mencari tempat untuk bekerja. Apa yang terjadi? Jalannya penerjemahan tidak selancar biasanya. Entah kenapa otak saya kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang pas. Setelah itu kok gelombang ngantuk datang tidak henti-hentinya. Alhasil, waktu sekian jam yang niatnya ingin produktif menerjemahkan tidak tercapai. Saya lupa, Allah-lah yang memberi inspirasi dan kekuatan untuk menerjemah. Walaupun kita berupaya mengkondisikan kehidupan tapi kalau Allah tidak beri kemampuannya maka tetap saja tidak jalan! Sebuah pelajaran yang berharga buat saya.
Jadi, hidup itu simpel sahabat. Tidak perlu ngatur-ngatur Tuhan atau mendikte-Nya dengan membuat sebuah persyaratan-persyaratan, "Kalau begini saya akan begitu" Siapa yang menjamin? Kita memang suka sok tahu. Merasa skema yang ada di benak kita lebih baik dari pengaturan-Nya. Astaghfirullahaladziim.
Amsterdam, 7 Maret 2025 / 7 Ramadhan 1446 H
14.58
No comments:
Post a Comment