Wednesday, February 26, 2020

Kalau masih melihat kematian sebagai sesuatu yang menakutkan. Berarti hubungan kita dengan Allah Tuhan semesta alam masih bermasalah...

Monday, February 24, 2020

Sampai kapanpun saya akan selalu berutang terima kasih pada pasien saya yang satu ini. Sebut saja namanya Ibu Aminah. Melaluinya saya belajar tidak hanya untuk menjadi seorang dokter yang lebih baik lagi tapi juga terinspirasi menjadi seorang manusia yang lebih baik. Ibu Aminah sudah menjadi pasien saya selama bertahun-tahun, biasanya beliau datang berobat untuk anak-anaknya yang masih kecil. Hingga pada suatu waktu selama setahun lamanya Ibu Aminah secara berkala berobat untuk keluhan lambung yang dialaminya. Setiap kali saya berikan obat untuk penyakit lambungnya itu dia mengatakan merasa lebih baik. Tapi hal itu terus berulang, hingga akhirnya ia menjadi ‘langganan’ mendapatkan resep obat untuk keluhan lambungnya itu. Hingga di titik tertentu saya merasa mulai penasaran dengan penyebab utama penyakitnya itu. Saya ajak Ibu Aminah bertemu saya di akhir jam praktik di malam hari agar bisa lebih leluasa bicara tanpa khawatir mengganggu pasien lain yang sedang menunggu gilirannya datang untuk diperiksa. Ibu Aminah, seorang profil ibu dan perempuan yang energik, senantiasa tersenyum cerah dan ramah itu duduk di hadapan saya. Saya coba menggeser kursi saya agar posisi duduk kita lebih informal. Saya ajak dia bicara tentang anaknya, situasi pekerjaannya juga tentang keadaan terkini di tanah air dan kadang menyelipkan canda agar suasana cair. Ketika masuk mengenai penyakit lambungnya saya coba jelaskan bahwa ada dua pintu kemungkinan penyakit itu timbul, satu dari makanan – artinya pola makan yang tidak sehat dan tidak sesuai dengan tipe tubuh kita – atau dari pikiran, barangkali ada stress tertentu atau beban pikiran yang tidak tersalurkan dengan baik, hal itu tidak jarang akan menimbulkan sebuah gejala penyakit. Di titik itu saya lihat wajah cerah Ibu Aminah mulai memudar. Saya awalnya khawatir salah kata-kata dan menyinggungnya. Untuk beberapa lama ia terdiam, sangat tidak seperti biasanya. Saya pun terlalu sungkan untuk memecah keheningan itu, akhirnya saya memutuskan untuk diam pula menunggu yang bersangkutan mulai berbicara. “Sebenarnya saya malu bicara ini dok…” katanya memulai kembali pembicaraan. Wajahnya memerah, sambil menunduk saya mulai melihat bulir-bulir air mata menetes dari pipinya yang merah dengan sapuan blush-on. Ibu Aminah memang senang berdandan dan terlihat cantik. Saya masih diam sambil menjulurkan sekotak tisu di hadapannya. “Setahun ini saya stress berat dok…Suami saya…” Ibu Aminah mulai terisak dan mengambil beberapa lembar tisu dari kotaknya. Tangisnya bertambah kuat hingga membuat luntur sapuan eye-shadow di matanya. Saya mendekatkan diri dan menepuk halus bahunya, masih terdiam karena tak tahu harus berkata apa. “Suami saya ternyata punya istri lagi dok, tanpa sepengetahuan saya. Selama ini saya pikir rumah tangga kami baik-baik saja. Sampai dua tahun terakhir ketika dia dipindah dinas di kota lain saya mulai merasa ada hal yang janggal darinya. Tapi saya selalu berpikir positif tentangnya, kami sudah menikah hampir lima belas tahun dan punya tiga orang anak yang luar biasa…” Ibu Aminah menghentikan sejenak ceritanya. Mengusap sisa-sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya dan memperbaiki posisi duduknya. Ia tampak menghirup nafas dalam-dalam dan berupaya untuk kembali tenang. “Saya sekali lagi malu untuk bercerita tentang ini dok, tapi saya percaya sama dokter.” Di titik ini saya pikir sudah saatnya untuk berkata sesuatu, akhirnya saya katakan kepadanya sekadar kalimat empati. “Terima kasih atas kepercayaannya bu. Saya bisa bayangkan keadaan yang ibu alami sangat tidak mudah.” Malam itu pecahlah rekor konsultasi pasien yang pernah saya alami. Hampir dua jam lamanya Ibu Aminah membagi kisahnya. Saya persilakan petugas administrasi dan perawat saya untuk pulang terlebih dahulu, mereka tidak perlu menanggung beban pulang larut malam karena kasus pasien spesial ini. Sejak saat itu Ibu Aminah biasa mengambil waktu malam hari sebagai pasien terakhir untuk berkonsultasi dengan saya. Dia tahu, itu saat yang tepat untuk bicara lebih tenang. Saya pun mendengarkannya sambil sesekali melempar komentar netral dan memberi semangat, karena saya tidak punya kualifikasi untuk menjadi konsultan pernikahan, saya tidak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. Waktu pun berlalu, hari berubah menjadi minggu dan minggu berubah menjadi bulan. Ibu Aminah entah kenapa jarang mengeluhkan penyakit lambungnya lagi. Kadang dia hanya datang “minta vitamin” sebagai alasan untuk bertemu saya dan melaporkan keadaan rumah tangganya. Setahun kemudian ketika ia datang kembali ke ruang praktik saya untuk “minta vitamin” saya memuji penampilannya yang segar dan anggun. Tampak sekali wajahnya cerah. Lebih cerah dibanding wajah Ibu Aminah yang dulu pernah saya kenal. Sambil berbinar-binar ia berkata, “Saya hamil lagi dok, dengan anak keempat!” “Alhamdulillah bu, selamat!” Seperti biasa satu kalimat saya yang singkat disambut dengan ribuan kata yang meluncur dari bibir yang berlapis lipstick berwarna merah menyala kali ini. Lebih menyala rasanya dibanding lampu remang-remang di ruang praktik saya di kota kecil sekitar dua jam berkendara dari Bandung ini. Alkisah, sejak Ibu Aminah bisa lancar berbagi kisahnya dengan saya, dia merasa menemukan ketenangan dan lega hatinya. Sedemikian rupa hingga ia bisa lebih tenang menghadapi suaminya. Akhirnya ia dan suaminya bisa bicara dari hati ke hati tentang situasi yang mereka hadapi. Dari situ dia pun menangkap bahwa suaminya pun masih mencintai dirinya dan anak-anak dan tidak mau kehilangan semuanya. Sebuah situasi yang kompleks yang dijamin tidak semua orang bisa memahaminya. Untung agama Islam memiliki solusi untuk permasalahan ini, yaitu dengan jalan poligami. Ibu Aminah dengan lapang dada mengizinkan suaminya yang telah memiliki seorang anak dari pernikahannya dengan perempuan lain itu. Fokus dari kisah ini adalah pada hubungan dokter dan pasien. Saya belajar dari Ibu Aminah untuk melihat pasien sebagai manusia yang utuh yang punya perasaan. Dia bukan sekadar obyek yang cukup ditegakkan diagnosa dan diberi sekian banyak ramuan kimia agar raganya tidak merasakan sakit yang ia keluhkan. Manusia juga punya hati yang dengannya ia merasa. Dalam kasus Ibu Aminah, kesedihan yang demikian dalam menggerus lapisan lambungnya hingga meradang bertahun lamanya. Dengan kesabaran dan ketegaran jiwa, sebuah kapasitas yang luar biasa dari seorang manusia. Ia bisa menaklukkan penyakitnya hingga tidak lagi tergantung dengan obat-obatan. Sejak itu saya selalu mencoba melihat sisi lain dari pasien-pasien saya. Mencoba mendengarkan dengan lebih seksama dan memberikan perhatian penuh pada kisahnya. Kisah yang bukan sekadar berfungsi sebagai sekumpulan informasi untuk menegakkan diagnosa, tapi di dalam kisah yang sama itu juga sebenarnya tersimpan obat untuk penyakit yang tengah ia hadapi. Terima kasih Ibu Aminah telah mengajarkan saya tidak hanya untuk menjadi dokter yang lebih baik, tapi juga menjadi seorang perempuan dan seorang istri yang lebih baik lagi. Setiap kali saya kesal kepada suami – apalagi itu tidak seberapa dibanding kelakuan suaminya Ibu Aminah - saya kemudian ingat kesabaran Ibu Aminah yang indah dalam menjalani ujian rumah tangganya. Kalau Ibu Aminah saja bisa memaafkan suaminya mengapa saya tidak?
Tidak ada satu kejadian sekecil apapun yang tidak berasal dari izin-Nya. Ketika di jalan ada seseorang menyalip mobil kita secara serampangan jangan langsung marah kepada yang bersangkutan. Bukan itu masalahnya. Karena kalau masih besar kadar amarah di dalam hati, pasti mudah terpancing oleh hal sederhana seperti itu. Seperti halnya orang yang besar kadar kesombongan dalam hatinya maka akan mudah terpancing amarahnya oleh sikap orang yang seolah kurang sopan atau tidak menghargainya. Jika kita hanya terjebak pada fenomenanya saja maka sampai kapanpun setiap persoalan yang datang akan menjadi salah orang lain, akan tetapi kotoran hati yang menjadi dedak sekian lama tidak pernah disadari hingga terbawa sampai mati. Na’udzubillahimindzaliik. Seorang hamba sejati akan selalu awas dalam kehidupannya dan melatih kepekaan hati untuk senantiasa bercermin ke dalam diri dalam merespon semua keadaan hidupnya. Jadi jangan buru-buru terjebak menyalahkan pasangan, menyalahkan orang tua, menyalahkan anak, menyalahkan si pengemudi yang sembrono itu atau hal-hal lain. Coba bercermin dari peristiwa itu karena tidaklah Allah menghendaki sesuatu kecuali hal itu hendaknya diambil pelajaran bagi mereka yang mau membaca. Maka bacalah dengan benar dengan nama Tuhanmu yang menciptakanmu. “Iqra bismiraabikalladzii khalaq”
Allah adalah Dzat yang sangat baik membalas kebaikan. Digambarkan kita datang kepada-Nya berjalan maka Dia akan berlari. Artinya balasan dari Dia akan melebihi upaya hamba-Nya, itulah akhlak Allah Yang Mulia. Jelang bulan Rajab yang disebut oleh Rasulullah sebagai bulan Allah. Dalam suatu riwayat dikisahkan kenapa dari semua bulan Allah memilih bulan Rajab menjadi bulan-Nya, adalah karena sifat bulan Rajab adalah menyembunyikan keburukan yang lain. Kita pun kalau berjuang tidak menyebarkan keburukan yang lain, tidak mengungkap aib orang atau tidak membincangkan kekurangan orang maka niscaya akan dipilih Allah jadi hamba-Nya yang disukai. Perbanyaklah istighfar di bulan ini sahabat semuanya, ini bulan istimewa. Sungguh hanya orang-orang yang bertekad kuat meraih keutamaan-Nya yang akan tergerak melakukan perbaikan dan dzikir yang lebih dari biasanya. Hingga semoga kita menjadi salah satu hamba yang Dia cintai...Aamiin

Saturday, February 22, 2020

Melihat kehidupan itu tidak bisa hitam-putih. Terlalu banyak kekayaan khazanah di dalam secuplik episode dunia. Itu kenapa menggosipkan seseorang dan menghibahnya merupakan dosa besar dalam pandangan Allah. Karena itu seperti menjatuhkan hukuman secara sepihak dengan informasi yang minim dan wawasan yang sempit pada sebuah lautan fenomena yang tengah Dia bentangkan. Kadang melihat kehidupan seperti melihat gambar di bawah. Sekilas kita hanya melihat gambar kotak-kotak. Tapi jika tenang melihatnya maka perlahan-lahan mata kita bisa menangkap ada gambar berbentuk lingkaran yang ada diantaranya. Ketenangan itu kunci dasar merespon kehidupan. Kalau tenang kita bisa melihat keadaan apa adanya dan tidak mudah terpancing emosi. Akan tetapi setan akan selalu menghembuskan hawa ketergesaan. Orang mudah langsung percaya sebuah kabar tanpa melakukan cek dan ricek, orang akan serampangan melemparkan tuduhan tanpa melakukan klarifikasi (tabayyun) dan orang akan langsung menghakimi tanpa berusaha mengumpulkan informasi yang benar sebanyak-banyaknya. Ketergesaan membuat kita menyiksa diri sendiri dengan pikiran dan harapan yang tidak selaras dengan aliran kehidupan. Padahal sejatinya tidak ada istilah "terlambat" atau "terlalu cepat" semua yang terjadi sudah dikadar presisi oleh-Nya. Begitupun kebenaran versi kita harus selalu diuji kadar kebenarannya sejalan dengan waktu. Karena tidak ada tajalli yang berulang. Dalam mencari kebenaran seorang Isaac Newton pun berpesan "Just keep question everything". Selalu pertanyakan semuanya. Bahkan konsep kebenaran yang kita pegang hari ini pun besok bisa jadi basi. Kita harus mengalir terus dengan aliran Sang Waktu dan tenang menjalaninya. Benar kiranya pesan almarhum nenek saya dulu, ’Dipikir sing tenang sak durunge mutusno, ojo grusa-grusu, mengko keliru". Artinya, "pikirkan dengan tenang sebelum memutuskan sesuatu, jangan gegabah, nanti keputusannya keliru".

Wednesday, February 19, 2020

Yang sedang dalam kesulitan, yang sedang dirundung duka, yang sedang dalam penantian, yang sedang sedih, yang sedang diuji. Ingat firman Allah yang ini ya... "Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu." - QS Al Maidah:6 Karena hanya hamba-hamba yang yang bersih yang bisa merasa kebahagiaan sejati dan sebuah perjumpaan agung dengan-Nya. Maka bersabarlah... "Jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu." QS Al Baqarah:153

Tuesday, February 18, 2020

Salah satu sumber penderitaan kita adalah ketika kita kurang mahir dalam menjembatani antara keinginan dan kenyataan. Setiap harinya kita menjadi menderita dan dibuat tegang oleh sekian banyak fenomena yang menimpa. Sumbernya bisa datang dari pasangan, dari orang tua, dari saudara, dari tempat kerja, dari usaha, dari tetangga dan lainnya. Allah tidak akan pernah kehabisan bank soal untuk menguji kekuatan jiwa kita. Maka jangan kaget kalau pasangan tidak seperti yang kita dambakan. Kalau anak berkelakuan tidak seperti yang kita harapkan. Dan kalau hidup tidak berjalan seperti yang kita rencanakan. Inilah kehidupan dunia. Ia akan selalu menguji kita. Kuncinya adalah jangan berontak. Semakin kita mengeluhkannya akan semakin sakit dan menderita diri. Akibatnya selamanya kita akan berada dalam ilusi “kalau begitu aku akan bahagia”. Padahal kunci kebahagiaan adalah menerima apa adanya. Walau sulit dirasakan di awal waktu. Lama kelamaan dengan sabar dan shalat maka Allah akan memberi kita kelapangan hati untuk menjalaninya. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat” (QS Al Baqarah [2]: 45). Bahkan untuk bisa shalat pun diperlukan rezeki berupa kesabaran. Dengan menegakkan tiang agama berupa shalat, maka Allah akan memberikan sebuah kecerdasan jiwa untuk melihat dan menerima sesuatu apa adanya. Malah di tahap tertentu akan terlihat hikmah dan keindahannya. Kita akan menjadi lebih realistis menjalani apa adanya. Pasangan yang itu, pekerjaan yang itu, status yang itu, keadaan yang itu, sakit yang itu dsb. Dengan sebuah kesadaran semua itu toh Allah yang izinkan terjadi dan sudah Dia catat di Lauh Mahfuz. Artinya setiap takdir kita itu Allah yang mendesain. Bukan orang lain. Walaupun syariatnya lewat tangan dan tindakan orang tertentu. Tapi ketika itu diizinkan terjadi berarti sadarilah bahwa sungguh ada mata air kebaikan di dalamnya yang kita harus bersungguh-sungguh untuk menggalinya.[]

Wednesday, February 12, 2020

“Saya sudah berdoa bertahun-tahun tapi belum dikabulkan juga” “Katanya kalau sedekah akan diganti berlipat ganda, tapi kok saya tidak terima apa-apa?” Pernah melontarkan pertanyaan seperti itu walaupun hanya di dalam hati? Sungguh Allah Maha Mendengar dengan nyaring, walaupun tak ada satu makhluk pun yang mengetahuinya. Jika pernah melontarkan pertanyaan yang berlandaskan keraguan seperti itu lekas-lekaslah istighfar. Karena kata Rasulullah justru salah satu penyebab doa jadi tidak dikabulkan karena pertanyaan yang mencoreng aqidah seseorang seperti itu. Perkara waktu pengabulan doa tentu Allah Yang Maha Tahu kapan saat yang terbaik. Belajarlah dari Nabi Zakariya yang berdoa meminta keturunan sejak usia muda belia dan ketika memasuki usia 80 tahunan pun beliauu tetap berdoa dengan santun, hingga doanya diabadikan dalam Al Quran, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.” Kemudian janji Allah bahwa Zakaria akan mendapatkan seorang keturunan bernama Yahya, yang kemudian juga menjadi nabi. Dalam Al Qur’an dikatakan keistimewaan seorang Yahya, “Kami belum pernah memberi nama seperti itu sebelumnya.” (QS Maryam [19]:7). Demikianlah buah kesabaran dari penantian panjang, bahwa seorang Yahya harus ditebus dengan penantian sekian lama dari orang tuanya. Hati-hati dalam menggugat apa-apa yang sudah Allah janjikan dalam Al Qur’an. Biasanya kita melontarkan pertanyaan yang tidak senonoh karena tidak paham bentuk pengabulan Allah seperti apa. Seperti ketika menanyakan ihwal pelipatgandaan sedekah. Yang ia hitung kalau sedekah seratus ribu rupiah maka setidaknya satu juta rupiah akan dia terima dalam waktu yang tidak lama. Sepuluh kali lipat saja. Begitu upaya dan harapannya dalam berdagang dengan Allah. Namun yang tidak dia pahami, kadang pemberian-Nya tidak melulu berbentuk nominal. Sebab apalah artinya uang mengalir banyak tapi badan sakit dan harus keluar masuk rumah sakit serta sehingga tidak dapat menikmati rezeki dengan optimal? Atau apa gunanya harta melimpah tapi tidak ada kedamaian dalam rumah tangga, atau anak dibuat bermasalah? Jadi bentuk pelipatgandaan yang Allah beri sungguh beragam. Kita yang harus membuka mata lebar-lebar dan mensyukuri semua yang ada. Do not take it for granted.

Tuesday, February 11, 2020

Kerja keras itu harus. Usaha yang optimal itu wajib. Tapi hasil akhir serahkan kepada Dia Yang Mengatur semesta. Karena sengotot apapun kita mengusahakan sesuatu dan sengoyo apapun keinginan kita kalau tidak Dia tulis di Lauh Mahfuzh dijamin tidak akan terjadi. Apakah kerja keras kita kemudian menjadi sia-sia? Sama sekali tidak. Karena hasil yang sebenarnya bukan dalam bentuk pencapaian lahiriyah semata. Kalaupun terjadi sesuai dengan keinginan kita, itu karena kebetulan sesuai dengan skema-Nya yang tertulis. Jangan bangga diri dan mengklaim kesuksesan berasal dari kerja kerasnya. Kita cuma nebeng rencana-Nya. Keberhasilan yang sesungguhnya adalah ketika qalb tertransformasi menjadi lebih mengenal-Nya, lebih dekat dengan-Nya, lebih rendah hati di hadapan Kuasa-Nya dan lebih takut kepada Keagungan-Nya. Qalb yang tertransformasi menjadikan ia lebih tepat merespon sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Ketepatan dalam merespon dinamika kehidupan itu yang dimaksud dengan akhlak. "Dan aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak" - Rasulullah SAW
“What do you want mama?” “Is this what you want?” “What do you want me to do?” Itu adalah salah satu dari kata-kata yang sering keluar dari mulut si bungsu, Rumi yang berusia 5 tahun. Kata-kata yang sama tidak pernah sekalipun terlontar dari lisan kakaknya yang berkarakter lebih firm dan tegas. Rumi itu halus sekali perasaannya, empatinya luar biasa tinggi. Tapi kehalusannya itu sering disalahartikan oleh teman kebanyakan bahkan oleh beberapa gurunya sebagai “kekurangan”. Karena di keseharian dia cenderung mengalah, mudah menangis dan bermain sendiri. Baru ketika satu setengah tahun lalu tiba-tiba ia mendapatkan guru bernama Tamar, seorang guru perempuan senior keturunan Yahudi yang sudah berprofesi menjadi guru selama 30 tahun lamanya – akhirnya anak ini mulai merasa dimengerti oleh seseorang di sekolah. Awalnya saya mendorong Rumi untuk aktif memiliki keinginan sendiri. Tidak mesti selalu menanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam di atas. Saya katakan kepadanya, “Mama, ingin Rumi belajar mengambil keputusan sendiri”. Suatu pernyataan yang hanya dibalas oleh anak itu dengan manis dengan pertanyaan, “Yes, but is that what you really want?” #teteuup 😅 Lama-lama saya bisa melihat sisi lain dari sikap dia itu. Hal yang sangat tidak biasa ketika seseorang diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan lalu ia mengembalikan “free card” itu dan berkata “aku ikut pilihanmu saja”. Rumi, menjadi cermin buat saya. Agar saya belajar untuk menyerahkan pilihan-pilihan kepada-Nya. Betul memang kita diberi kebebasan untuk memilih. Tapi kalau kita boleh jujur. Sesungguhnya kita tidak tahu pasti apakah pilihan itu terbaik untuk diri, keluarga dan masa depan kita. Karena dampak yang kita lihat hanya satu, dua atau seratus langkah. Sedangkan Dia Mengetahui akhir dari setiap keinginan dan pilihan. Melalui Rumi saya menjadi lebih memahami betapa Allah senang ketika hamba-Nya berdoa seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, “Jangan Engkau serahkan aku kepada diriku walaupun sekejap mata”.

Monday, February 10, 2020

Kegagalan dan kejatuhan adalah bagian dari pembelajaran hidup. Jangan sekali-kali mencibir orang yang sedang jatuh dan mengalami kegagalan, karena itu terjadi dengan izin-Nya. Berarti ada kebaikan banyak yang menanti bagi mereka yang mau belajar dari kesalahan dan kegagalannya. Dan Rasulullah keras menegur umatnya jika mengatakan hal yang buruk kepada ujian yang menimpa seseorang, maka ia tidak akan meninggal sebelum merasakan ujian yang sama. Jika seseorang terjerembab kembali di lubang yang sama berulang kali, berarti dia kurang merenung dalam kehidupan sehingga tidak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sungguh Allah menghendaki kita semua untuk menemukan mata air kebahagiaannya yang sejati masing-masing. Untuk itu kadang kita terperosok dalam lembah dosa dan berbuat khilaf. Tidak apa-apa selama dia masih dikaruniai hati yang ingin berbuat perbaikan maka jangan patah arang, teruslah raih rahmat-Nya. Seorang ulama berkata, “Lebih baik jadi mantan penjahat dibanding jadi mantan orang baik.”
Percayalah, pilihan Allah itu jauh lebih baik dari yang kita duga dengan akal kita yang kerdil ini.

Sunday, February 9, 2020

Kadang dalam hidup kita menemui orang yang paras wajahnya demikian judes, perilakunya mengesalkan dan kata-katanya menyakitkan. Hal yang terbaik menjalani situasi seperti itu adalah memaafkan, biarkan adegan itu berlalu dan jangan biarkan kita tertular oleh hawa negatif yang mereka bawa. Orang yang perilakunya demikian, justru kita harus bersimpati kepada mereka alih-alih membencinya. Karena mereka sebetulnya sedang “sakit” hatinya dan masih berjuang mengatasinya hingga mengeluarkan energi negatif ke sekelilingnya. Jika kita berespon sama, membalas kejelekan dengan kejelekan maka berarti hati kita juga masih sakit. Karena hati yang sehat tidak akan terpengaruh oleh keadaan luar. Perumpamaannya seperti permukaan kulit yang sakit dan meradang dimana sebuah belaian lembut atau hembusan angin saja bisa membuatnya bertambah sakit, apalagi sebuah tepukan keras. Dunia akan selalu menguji respon kita dalam menghadapinya. Belajarlah dari para Nabi dan wali-Nya, bagaimana sulitnya kehidupan yang mereka tempuh dan tidak jarang yang berakhir menjelang kematian dengan cara yang mengenaskan. Tapi hati mereka senantiasa tersenyum dan memuji-Nya, bahkan hingga akhir nafas tetap menyebut nama-Nya.

Wednesday, February 5, 2020

Yang namanya manusia akan selalu memiliki kebutuhan hidup. Kita perlu uang untuk makan, untuk mencicil rumah, kendaraan atau untuk biaya sekolah anak dll. Jika kita mengandalkan kemampuan diri dan hitungan pikiran apalagi mengandalkan pinjam sana-sini. Maka sampai mati pun urusan kita hanya gali lubang dan tutup lubang. Manusia akan lelah didera oleh kesibukan yang tak ada akhir dan kebutuhan yang tak ada ujungnya. Akhirnya sebagian besar kehidupannya sibuk hanya mengurus masalah dunia. Hal yang padahal Allah tanggung jika kita beriman dan beramal shalih. Itu kuncinya. “Barangsiapa yang beriman dan beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayatan thayyiba)” (QS An Nahl [16]: 97) Kehidupan yang baik itu yang mendatangkan keberkahan, ketenangan hati dan martabat. Tak perlu korupsi, tak perlu mencoreng muka sendiri dengan meminta-minta kepada makhluk-Nya, tak perlu terengah-engah dalam kepanikan memenuhi kebutuhan hidup. Allah mencipta kita semua bukan untuk itu. Dibalik keadaan keuangan yang selalu kurang, coba bercermin. Barangkali itu proses pembersihan, karena kita dulu pernah khilaf melakukan “mark-up” pembelian barang, pernah bohong dan membuat kuitansi palsu dalam perjalanan dinas, pernah menerima uang suap, pernah berbohong saat menjual sesuatu, pernah terlalu mengandalkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya – itu menjadikan tercorengnya aqidah kita kepada Allah Ta’ala Sang Pemberi Rezeki. Seperti halnya orang yang sakit, tubuh butuh proses untuk sembuh. Sakitnya jiwa seseorang karena memakan harta yang tidak halal pun perlu waktu untuk berproses. Tidak pada tempatnya seseorang mengecam Allah dengan berkata “Aku sudah sedekah sekian banyak, katanya dibalas sekian kali lipat, tapi mana hasilnya?!” Bisa jadi balasannya itu berupa pembersihan hati dan jiwanya yang belepotan dengan dosa. Karena Allah sayang kepada hamba itu sehingga disucikan dia di dunia ini dengan menempuh sebuah kesulitan dalam kehidupan. Jadi, sejatinya yang namanya kebutuhan hidup akan selalu dibuat ada. Agar kita tawakalnya seratus persen kepada Allah. Bukan kepada gaji yang dinanti di akhir bulan, bukan kepada deposito atau tabungan, bukan kepada laba usaha atau handai taulan yang biasa bisa diandalkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan kita dan keluarga. []

Tuesday, February 4, 2020

Seseorang berdoa kepada Tuhannya sedemikian rupa hingga ia mendengar Tuhan berkata, "Silakan hamba-Ku mintalah apapun yang kau mau, niscaya akan Aku kabulkan." Sang hamba malah tertunduk malu, tetes-tetes air mata mengalir di pipinya dan ia berkata, "Terima kasih wahai Tuhanku, Engkau sudah sangat baik sekali. Adapun aku tidak mau menginginkan sesuatu yang diluar kehendak-Mu. Karena aku tidak mengetahui apa akibat dari suatu pengabulan doa kepada takdir-takdir yang lain. Jadikan keinginanku menyatu dengan keinginan-Mu saja..."
Ada sebuah kekufuran halus yang tersembunyi dalam sepenggal kalimat “seandainya”. Hati-hati menggunakan kalimat itu. Karena itu Rasulullah pun melarang umatnya mengatakan “Seandainya..” dalam konteks sebuah ketidakmenerimaan. Seandainya aku menikah dengan dia tentu bahagia… Seandainya kita punya rumah disitu pasti nyaman hidup… Seandainya aku bekerja di perusahaan itu pasti tenang hidupku… Ketika kita berimajinasi melalui kalimat “seandainya” bisa jadi itu didasari oleh suatu perasaan tidak puas dengan apa-apa yang Dia berikan kepada kita per saat ini. Tidak mensyukuri segenap pemberiannya bagaimanapun keadaannya, karena kita berpikir keadaan yang kita inginkan itu akan lebih mendatangkan kebahagiaan. Dan seringkali kebahagiaan yang dimaksud hanya sebuah fatamorgana di alam pikiran. Karena natur manusia jika diberi emas sebesar bukit pun akan menginginkan bukit emas yang lain dan satu-satunya yang bisa menghentikan keinginan itu adalah ketika mulutnya penuh dengan tanah. Artinya jasadnya sudah mati tertimbun di dalam kegelapan kubur. Kenapa kalimat “seandainya” berimplikasi kepada sebuah kekufuran? Ka-fa-ra atau kufur artinya tertutup. Dia saat itu tertutup dari memahami bahwa apapun yang Allah takdirkan per saat itu adalah yang terbaik bagi dirinya. Akalnya belum bisa mencerna itu karenanya ia liar mencari jalan dari situasi yang dianggapnya kurang nyaman dengan sebuah upaya yang sia-sia. Karena sekuat apapun ia mencoba mengoyak tirai takdir hidupnya tidak akan pernah bisa. Maka Allah Ta’ala menyeru dalam Al Qur’an “Allah akan menimpakan azab (rijsa) kepada orang yang tidak menggunakan akal“. Rijsa itu bukan kutukan dari Allah karena Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang (Ar Rahman Ar Rahiim), tapi rijsa adalah azab yang dituai oleh manusia karena sikap dan perbuatannya sendiri. “Rijsa” itu berupa kegelisahan, kekhawatiran dan kegundahan. Kegelisahan yang kita rasakan adalah efek dari syahwat yang ingin terburu-buru meraih sesuatu. Kekhawatiran yang menyelubungi adalah dampak dari kurang tawakal kita kepada Allah. Lebih mempercayai perhitungan logika dan rezeki yang kita perkirakan datang dibandingkan lautan rezeki dari-Nya yang tak terbatas. Gundah gulana yang menghantui kita karena kita kurang berserah diri kepada ketentuan-Nya, masih setengah-setengah menyerahkan pengaturan diri pada keinginan dan dorongan hawa nafsu dan pengaruh orang lain. Orang akan cenderung takut pada kegelapan. Maka ilmu adalah cahaya yang menyibak pekatnya ketidaktahuan. Dengan cahaya itu kita bisa melihat sekeliling dan nyaman dalam berjalan. Itulah mengapa ayat yang pertama kali turun adalah “iqra”. Membaca Kitabullah, kitab diri dan kitab kehidupan. Itu yang akan mencegah kita dari melontarkan kata “seandainya” dan menggelincirkan diri ke lembah kesengsaraan yang kita akibatkan sendiri. Wallahu’alam[]