Monday, February 24, 2020

Sampai kapanpun saya akan selalu berutang terima kasih pada pasien saya yang satu ini. Sebut saja namanya Ibu Aminah. Melaluinya saya belajar tidak hanya untuk menjadi seorang dokter yang lebih baik lagi tapi juga terinspirasi menjadi seorang manusia yang lebih baik. Ibu Aminah sudah menjadi pasien saya selama bertahun-tahun, biasanya beliau datang berobat untuk anak-anaknya yang masih kecil. Hingga pada suatu waktu selama setahun lamanya Ibu Aminah secara berkala berobat untuk keluhan lambung yang dialaminya. Setiap kali saya berikan obat untuk penyakit lambungnya itu dia mengatakan merasa lebih baik. Tapi hal itu terus berulang, hingga akhirnya ia menjadi ‘langganan’ mendapatkan resep obat untuk keluhan lambungnya itu. Hingga di titik tertentu saya merasa mulai penasaran dengan penyebab utama penyakitnya itu. Saya ajak Ibu Aminah bertemu saya di akhir jam praktik di malam hari agar bisa lebih leluasa bicara tanpa khawatir mengganggu pasien lain yang sedang menunggu gilirannya datang untuk diperiksa. Ibu Aminah, seorang profil ibu dan perempuan yang energik, senantiasa tersenyum cerah dan ramah itu duduk di hadapan saya. Saya coba menggeser kursi saya agar posisi duduk kita lebih informal. Saya ajak dia bicara tentang anaknya, situasi pekerjaannya juga tentang keadaan terkini di tanah air dan kadang menyelipkan canda agar suasana cair. Ketika masuk mengenai penyakit lambungnya saya coba jelaskan bahwa ada dua pintu kemungkinan penyakit itu timbul, satu dari makanan – artinya pola makan yang tidak sehat dan tidak sesuai dengan tipe tubuh kita – atau dari pikiran, barangkali ada stress tertentu atau beban pikiran yang tidak tersalurkan dengan baik, hal itu tidak jarang akan menimbulkan sebuah gejala penyakit. Di titik itu saya lihat wajah cerah Ibu Aminah mulai memudar. Saya awalnya khawatir salah kata-kata dan menyinggungnya. Untuk beberapa lama ia terdiam, sangat tidak seperti biasanya. Saya pun terlalu sungkan untuk memecah keheningan itu, akhirnya saya memutuskan untuk diam pula menunggu yang bersangkutan mulai berbicara. “Sebenarnya saya malu bicara ini dok…” katanya memulai kembali pembicaraan. Wajahnya memerah, sambil menunduk saya mulai melihat bulir-bulir air mata menetes dari pipinya yang merah dengan sapuan blush-on. Ibu Aminah memang senang berdandan dan terlihat cantik. Saya masih diam sambil menjulurkan sekotak tisu di hadapannya. “Setahun ini saya stress berat dok…Suami saya…” Ibu Aminah mulai terisak dan mengambil beberapa lembar tisu dari kotaknya. Tangisnya bertambah kuat hingga membuat luntur sapuan eye-shadow di matanya. Saya mendekatkan diri dan menepuk halus bahunya, masih terdiam karena tak tahu harus berkata apa. “Suami saya ternyata punya istri lagi dok, tanpa sepengetahuan saya. Selama ini saya pikir rumah tangga kami baik-baik saja. Sampai dua tahun terakhir ketika dia dipindah dinas di kota lain saya mulai merasa ada hal yang janggal darinya. Tapi saya selalu berpikir positif tentangnya, kami sudah menikah hampir lima belas tahun dan punya tiga orang anak yang luar biasa…” Ibu Aminah menghentikan sejenak ceritanya. Mengusap sisa-sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya dan memperbaiki posisi duduknya. Ia tampak menghirup nafas dalam-dalam dan berupaya untuk kembali tenang. “Saya sekali lagi malu untuk bercerita tentang ini dok, tapi saya percaya sama dokter.” Di titik ini saya pikir sudah saatnya untuk berkata sesuatu, akhirnya saya katakan kepadanya sekadar kalimat empati. “Terima kasih atas kepercayaannya bu. Saya bisa bayangkan keadaan yang ibu alami sangat tidak mudah.” Malam itu pecahlah rekor konsultasi pasien yang pernah saya alami. Hampir dua jam lamanya Ibu Aminah membagi kisahnya. Saya persilakan petugas administrasi dan perawat saya untuk pulang terlebih dahulu, mereka tidak perlu menanggung beban pulang larut malam karena kasus pasien spesial ini. Sejak saat itu Ibu Aminah biasa mengambil waktu malam hari sebagai pasien terakhir untuk berkonsultasi dengan saya. Dia tahu, itu saat yang tepat untuk bicara lebih tenang. Saya pun mendengarkannya sambil sesekali melempar komentar netral dan memberi semangat, karena saya tidak punya kualifikasi untuk menjadi konsultan pernikahan, saya tidak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. Waktu pun berlalu, hari berubah menjadi minggu dan minggu berubah menjadi bulan. Ibu Aminah entah kenapa jarang mengeluhkan penyakit lambungnya lagi. Kadang dia hanya datang “minta vitamin” sebagai alasan untuk bertemu saya dan melaporkan keadaan rumah tangganya. Setahun kemudian ketika ia datang kembali ke ruang praktik saya untuk “minta vitamin” saya memuji penampilannya yang segar dan anggun. Tampak sekali wajahnya cerah. Lebih cerah dibanding wajah Ibu Aminah yang dulu pernah saya kenal. Sambil berbinar-binar ia berkata, “Saya hamil lagi dok, dengan anak keempat!” “Alhamdulillah bu, selamat!” Seperti biasa satu kalimat saya yang singkat disambut dengan ribuan kata yang meluncur dari bibir yang berlapis lipstick berwarna merah menyala kali ini. Lebih menyala rasanya dibanding lampu remang-remang di ruang praktik saya di kota kecil sekitar dua jam berkendara dari Bandung ini. Alkisah, sejak Ibu Aminah bisa lancar berbagi kisahnya dengan saya, dia merasa menemukan ketenangan dan lega hatinya. Sedemikian rupa hingga ia bisa lebih tenang menghadapi suaminya. Akhirnya ia dan suaminya bisa bicara dari hati ke hati tentang situasi yang mereka hadapi. Dari situ dia pun menangkap bahwa suaminya pun masih mencintai dirinya dan anak-anak dan tidak mau kehilangan semuanya. Sebuah situasi yang kompleks yang dijamin tidak semua orang bisa memahaminya. Untung agama Islam memiliki solusi untuk permasalahan ini, yaitu dengan jalan poligami. Ibu Aminah dengan lapang dada mengizinkan suaminya yang telah memiliki seorang anak dari pernikahannya dengan perempuan lain itu. Fokus dari kisah ini adalah pada hubungan dokter dan pasien. Saya belajar dari Ibu Aminah untuk melihat pasien sebagai manusia yang utuh yang punya perasaan. Dia bukan sekadar obyek yang cukup ditegakkan diagnosa dan diberi sekian banyak ramuan kimia agar raganya tidak merasakan sakit yang ia keluhkan. Manusia juga punya hati yang dengannya ia merasa. Dalam kasus Ibu Aminah, kesedihan yang demikian dalam menggerus lapisan lambungnya hingga meradang bertahun lamanya. Dengan kesabaran dan ketegaran jiwa, sebuah kapasitas yang luar biasa dari seorang manusia. Ia bisa menaklukkan penyakitnya hingga tidak lagi tergantung dengan obat-obatan. Sejak itu saya selalu mencoba melihat sisi lain dari pasien-pasien saya. Mencoba mendengarkan dengan lebih seksama dan memberikan perhatian penuh pada kisahnya. Kisah yang bukan sekadar berfungsi sebagai sekumpulan informasi untuk menegakkan diagnosa, tapi di dalam kisah yang sama itu juga sebenarnya tersimpan obat untuk penyakit yang tengah ia hadapi. Terima kasih Ibu Aminah telah mengajarkan saya tidak hanya untuk menjadi dokter yang lebih baik, tapi juga menjadi seorang perempuan dan seorang istri yang lebih baik lagi. Setiap kali saya kesal kepada suami – apalagi itu tidak seberapa dibanding kelakuan suaminya Ibu Aminah - saya kemudian ingat kesabaran Ibu Aminah yang indah dalam menjalani ujian rumah tangganya. Kalau Ibu Aminah saja bisa memaafkan suaminya mengapa saya tidak?

No comments:

Post a Comment