Tuesday, February 4, 2020

Ada sebuah kekufuran halus yang tersembunyi dalam sepenggal kalimat “seandainya”. Hati-hati menggunakan kalimat itu. Karena itu Rasulullah pun melarang umatnya mengatakan “Seandainya..” dalam konteks sebuah ketidakmenerimaan. Seandainya aku menikah dengan dia tentu bahagia… Seandainya kita punya rumah disitu pasti nyaman hidup… Seandainya aku bekerja di perusahaan itu pasti tenang hidupku… Ketika kita berimajinasi melalui kalimat “seandainya” bisa jadi itu didasari oleh suatu perasaan tidak puas dengan apa-apa yang Dia berikan kepada kita per saat ini. Tidak mensyukuri segenap pemberiannya bagaimanapun keadaannya, karena kita berpikir keadaan yang kita inginkan itu akan lebih mendatangkan kebahagiaan. Dan seringkali kebahagiaan yang dimaksud hanya sebuah fatamorgana di alam pikiran. Karena natur manusia jika diberi emas sebesar bukit pun akan menginginkan bukit emas yang lain dan satu-satunya yang bisa menghentikan keinginan itu adalah ketika mulutnya penuh dengan tanah. Artinya jasadnya sudah mati tertimbun di dalam kegelapan kubur. Kenapa kalimat “seandainya” berimplikasi kepada sebuah kekufuran? Ka-fa-ra atau kufur artinya tertutup. Dia saat itu tertutup dari memahami bahwa apapun yang Allah takdirkan per saat itu adalah yang terbaik bagi dirinya. Akalnya belum bisa mencerna itu karenanya ia liar mencari jalan dari situasi yang dianggapnya kurang nyaman dengan sebuah upaya yang sia-sia. Karena sekuat apapun ia mencoba mengoyak tirai takdir hidupnya tidak akan pernah bisa. Maka Allah Ta’ala menyeru dalam Al Qur’an “Allah akan menimpakan azab (rijsa) kepada orang yang tidak menggunakan akal“. Rijsa itu bukan kutukan dari Allah karena Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang (Ar Rahman Ar Rahiim), tapi rijsa adalah azab yang dituai oleh manusia karena sikap dan perbuatannya sendiri. “Rijsa” itu berupa kegelisahan, kekhawatiran dan kegundahan. Kegelisahan yang kita rasakan adalah efek dari syahwat yang ingin terburu-buru meraih sesuatu. Kekhawatiran yang menyelubungi adalah dampak dari kurang tawakal kita kepada Allah. Lebih mempercayai perhitungan logika dan rezeki yang kita perkirakan datang dibandingkan lautan rezeki dari-Nya yang tak terbatas. Gundah gulana yang menghantui kita karena kita kurang berserah diri kepada ketentuan-Nya, masih setengah-setengah menyerahkan pengaturan diri pada keinginan dan dorongan hawa nafsu dan pengaruh orang lain. Orang akan cenderung takut pada kegelapan. Maka ilmu adalah cahaya yang menyibak pekatnya ketidaktahuan. Dengan cahaya itu kita bisa melihat sekeliling dan nyaman dalam berjalan. Itulah mengapa ayat yang pertama kali turun adalah “iqra”. Membaca Kitabullah, kitab diri dan kitab kehidupan. Itu yang akan mencegah kita dari melontarkan kata “seandainya” dan menggelincirkan diri ke lembah kesengsaraan yang kita akibatkan sendiri. Wallahu’alam[]

No comments:

Post a Comment