Tantangan dalam beribadah kepada Allah adalah mengikhlaskan hati. Dan itu hanya bisa dengan pertolongan-Nya semata. Kita bisa melabuhkan sebuah doa dan mengerahkan segenap ikhtiar, tapi jika hati masih bercabang dalam mengerjakan segala sesuatu, masih ada motif tersembunyi, masih ada hal lain yang dikejar selain wajah-Nya, maka itu tanda hati belum ikhlas betul. Kita belum menjadi orang yang "mukhlisina lahuddiin".
Ikhlas itu menjadi kunci agar kita bisa tersenyum mengerjakan apapun peran dan keadaan yang sedang Allah Ta'ala berikan per hari ini. Ada yang harus berhenti karir karena berumah tangga. Ada yang harus mendera sakit hingga membatasi kegiatannya. Ada yang harus menjelang takdir di negeri atau tempat baru. Ada yang harus menyesuaikan diri dengan fungsi dan pekerjaan yang ada. Semuanya akan menjadi bermakna kalau kita ikhlas mengerjakannya. Setiap lelah, setiap pegal, setiap penantian, setiap pekerjaan yang sepertinya nampak monoton bisa diubah menjadi tangga-tangga dzikir yang melambungkan jiwa kita di setiap saat.
Karenanya yang membatasi kebahagiaan kita biasanya adalah karena hati yang masih mengharapkan dunia dan selain Allah. Hatinya belum ikhlas. Karena selain Allah pasti membawa kekecewaan maka dia akan menjadi budak dari satu kekecewaan dan kekecewaan lain selama dia tidak mengubah arah haluan hatinya.
Agama dengan segala syariat lahir dan batinnya secara ajaib bisa mengubah hati orang. Dari hati yang membatu atau berkarat menjadi bola kaca yang bening yang memancarkan sinar dari setiap tujuh lapisannya hingga lapisan yang terdalam. Itulah cahaya di atas cahaya seperti tertuang dalam surat An Nuur [24]:35.
Dengan kata lain, kegelisahan, kecemasan, kejumudan, kebekuan, kebosanan, kehampaan hati adalah sebuah dampak dari bayangan kegelapan yang ada di dalam hati yang menutupi cahaya kebahagiaan masing-masing. Selagi masih ada nafas, beristighfar dan taubatlah yang benar.
No comments:
Post a Comment