Friday, May 6, 2022

 To forget is to be forgiven


To forgive is to forget.
Kalau mau memaafkan kesalahan orang yang menyakiti kita, berhentilah mengulang-ulang kesalahannya di benak kita, juga berhenti mengucapkannya seperti kaset rusak, mengulang hal yang sama dengan suara tak karuan.

Kalau benar-benar memaafkan ya mulailah dengan lembaran baru, yang lama tak usah diungkit-ungkit lagi.
Itu sebenarnya sehat untuk yang memaafkan, karena ia tak perlu menyimpan sampah dendam dan amarah dalam hatinya yang jika makin lama ia tahan akan semakin membusuk dan melukai dirinya sendiri.

Dalam kaidah agama orang yang lupa itu dimaafkan. Seperti sabda Rasulullah saw,

“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045)

Kalau lupa itu ya tidak ingat. Ia tidak dalam posisi menentukan sesuatu, karenanya ia dimaafkan, lepas dari hisab.

Kalau Tuhan bisa demikian pemurah dan pemaaf kepada yang lupa. Berarti ada sebuah rahasia besar di balik sebuah ihwal keterlupaan.

Seorang guru selalu berkata kepada muridnya "Lupakan!" akan hal-hal yang bukan merupakan hak dia untuk diambil, direnungkan atau ditekuni. Lupakan adalah berarti meninggalkan. Let it go. Jangan bahkan melirik-lirik dia lagi jika tidak ingin memori tentang itu terbangkitkan kembali.

Lupa adalah sebuah rahmat-Nya. Sebuah pertolongan bagi manusia yang lemah, rapuh dan tak sabaran ini.
Bayangkan, jika semua hal yang buruk kita ingat terus. Tentu makan pun jadi tak enak dan tidur tak nyenyak. Kita bahkan tak akan bisa menikmati hidup apalagi berbahagia melaluinya.

Demikian juga, kalau mau kembali bahagia. Lupakan sakit hati itu. Lupakan tindakan dia menyakiti kita. Raih episode yang baru di setiap saat. Lalu jika disakiti lagi? Ya lupakan kembali. Terus begitu.

Rasulullah saw pernah dibully oleh sekelompok orang yang memanggil-manggil namanya "Muhammad sini!" Begitu Rasulullah datang dan bertanya "Siapa yang memanggilku?" Mereka cekikikan norak, pura-pura tidak melakukannya. Rasulullah pun meninggalkan mereka tanpa berkata apapun. Lalu mereka berulah lagi, dari kejauhan memanggil "Muhammad, sini". Rasulullah sang insan mulia tetap kembali. Lagi dan lagi dan lagi. Sampai mereka kelelahan sendiri bahkan menjadi takjub. "Betapa mulianya engkau, tak bergeming ataupun marah sedikit pun atas perilaku kami. Kalau begitu, saksikan bahwa aku bersyahadat sekarang..."

Kalau kita - ya sayalah - dipanggil kedua kali mungkin udah males nengok. Tapi Rasulullah saw kok bisa begitu? Itulah kualitas sebuah kepemaafan. Dia melupakan apa yang bahkan baru terjadi beberapa detik sebelumnya dan menganggap semua hal sebagai sebuah lembar yang baru. Over and over again. That is the quality of a true forgiver.

Allahumma shalli 'alaa sayyidina Muhammad...

No comments:

Post a Comment