Tugas penting para penyeru Allah adalah untuk membersihkan hati dari berhala-berhala, agar manusia ikhlas beribadah kepadaNya semata. Ibnu Arabi berkata, "Apa yang ada di dalam hati manusia itulah yang disembah."
Karena semua objek, keinginan, mimpi dan ambisi yang di dalam hati itulah yang akan mengendalikan manusia, mereka akan menjadi 'ilah'. Padahal seorang muslim sudah berikrar dalam pernyataan syahadah dan diulang setiap hari dalam shalat, "asyhadu alaailaaha ilallah..." aku bersaksi tidak ada ilah lain selain Allah.
Karena semua objek, keinginan, mimpi dan ambisi yang di dalam hati itulah yang akan mengendalikan manusia, mereka akan menjadi 'ilah'. Padahal seorang muslim sudah berikrar dalam pernyataan syahadah dan diulang setiap hari dalam shalat, "asyhadu alaailaaha ilallah..." aku bersaksi tidak ada ilah lain selain Allah.
Kenyataannya? Siapa atau apa yang lebih menjadi ilah dalam hati kita?
Seorang ustadz membagi sebuah tips sederhana untuk menguji siapa atau apa 'ilah' yang sedang bertengger dalam hati kita per saat ini. Caranya dengan mengajukan dua pertanyaan yang saling behubungan.
1. Sekuat apa keberadaannya membuat hati kita senang?
2. Sekuat apa ketiadaannya membuat hati kita sedih?
(Skala 0-100)
1. Sekuat apa keberadaannya membuat hati kita senang?
2. Sekuat apa ketiadaannya membuat hati kita sedih?
(Skala 0-100)
Semakin besar poin total dari kedua jawaban itu maka besar kemungkinan itulah yang sedang bertahta di hati kita per saat ini. Silakan uji setiap komponen yang kita identifikasi ada di hati dengan dua pertanyaan itu, ia bisa jadi pasangan atau sang calon, mungkin anak, atau orang tua, harta warisan, karir, deposito, tabungan, pensiun, jabatan, nama baik, kehormatan, penghargaan, gelar, kemuliaan di mata orang, popularitas, jumlah likes atau followers, karomah, nur ilmu, bertemu diri dan lain sebagainya yang jauh lebih halus lagi sebagaimana kisah seseorang yang sekian lama selalu shalat berjamaah di shaf pertama, hingga suatu hari ia terlambat datang dan shalat di shaf kedua. Saat itu ia merasa sedih dan malu sedemikian rupa hingga ia sadar bahwa selama ini senang dan tenang hatinya saat shalat itu karena 'ilah' yang berupa bisa shalat di shaf pertama, bukan karena keihsanan hatinya menghadap Allah Ta'ala.
No comments:
Post a Comment