Sejak kecil saya ingin menjadi pemain bola, saya betul-betul jatuh cinta pada sepak bola. Kakak saya bercerita bahwa sejak usia dua tahun saya mulai tidur dengan memeluk bola, saya dan bola seperti tak terpisahkan. Untung orang tua saya mendukung kesukaan saya ini, saya diikutkan les dan berlatih bola setiap hari hingga menjadi pemain profesional di liga bola negara Ethiopia, dan saya sangat menikmati pekerjaan saya sebagai pemain bola. Hingga perang datang dan negeri tempat yang saya dilahirkan bukan lagi negeri yang aman, akhirnya kami mengungsi ke Libya.
Saat itu di Libya hanya ada sekitar 30 orang Ethiopia, sebagian besar bekerja di kedutaan besar. Saya mengerjakan pekerjaan serabutan dari mencuci piring di restoran hingga membersihkan jalanan. Apapun untuk bertahan hidup. Orang-orang Libya secara umum ringan tangan dan ramah. Saya mulai betah tinggal di negeri Jenderal Khadafy ini dan menemukan pasangan hidup saya. Kami menikah dan dikaruniai tiga anak perempuan, seiring dengan itu saya mulai belajar Bahasa Arab dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Hingga sekali lagi perang melanda negeri yang saya tempati.
Kami datang ke negeri Belanda sebagai pengungsi perang. Negara ini cukup ringan tangan dengan memberikan pekerjaan, tempat tinggal dan sekian jaminan sosial dan pendidikan yang layak bagi saya, istri dan ketiga anak perempuan kami. Keinginan untuk menjadi pemain bola yang sempat tertunda beberapa tahun kembali menyala di negeri yang melahirkan para pemain bola handal seperti Johan Cruyff, Marco van Basten, Ruud Gullit, serta ditunjang oleh berbagai saran sepakbola yang baik ini. Akan tetapi usia saya yang menjelang 40 tahun sudah terlalu tua untuk kembali bermain di liga profesional, selain itu sekian tahun kemudian saya mengalami operasi lutut yang tidak memungkinkan saya berlari kencang di lapangan bola seperti dulu. Tapi gairah saya kepada sepakbola tidak pernah padam. Akhirnya Tuhan memberi saya rezeki berkarir kembali di lapangan bola sebagai pelatih bola bagi anak-anak, makanya saat ini saya mengikuti kursus bahasa Belanda untuk mengasah kemampuan berbahasa saya.
Begitulah, perang bisa mengubah kehidupan seseorang 180 derajat. Beruntunglah mereka yang tidak pernah merasakan kekejaman perang atau dicekam ketakutan saat berada di tengah desingan peluru dan tidur malam yang tidak nyenyak karena kita tidak tahu apakah kamar kita menjadi sasaran rudal liar. Banyak yang mengira hidup damai yang ia jalani ada begitu saja, bukan sama sekali! Saya mengalaminya dua kali. Ketika kehidupan yang nyaman dan damai tiba-tiba berubah menjadi gelap, mencekam dan mengerikan. Tidak ada lagi gelak tawa anak-anak di taman bermain, tidak ada lagi kegiatan ke sekolah atau bekerja, semua meringkuk ketakutan dan melindungi diri masing-masing dari kebuasan sesama manusia. Saya tumbuh di Ethiopia, saya tahu rasanya menghadapi binatang buas di padang pasir. Akan tetapi tak ada yang menyaingi kebuasan manusia manakala ia menghancurkan sesama karena keserakahannya.
Sekarang negeri ini sedang aman dan nyaman, kita nikmati dan syukuri. Karena suasana aman ini membuat kita bisa menumbuhkan bakat dan potensi kita sebesar-besarnya dan belajar ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya. Tapi tidak ada yang bisa menjamin 100% bahwa keadaan ini berlangsung selamanya, itu yang saya ajarkan kepada ketiga anak perempuan saya. Agar selalu siap menghadapi kondisi yang terburuk dalam kehidupan. Apapun itu, kita manusia selalu bisa bertahan, karena kita punya Tuhan...
(Berdasarkan kisah nyata yang disampaikan beliau saat rehat kopi di kursus bahasa Belanda)
No comments:
Post a Comment