Kalau kita hanya punya 20 menit untuk hidup
di dunia. Apa yang akan dilakukan?
Dua puluh menit terhitung sangat cepat.
Kadang kita bisa tanpa sadar berinteraksi di dunia maya atau dalam kelalaian
selama berjam-jam dalam satu hari. Kita kerap lupa menghitung setiap jatah usia
yang ada untuk digunakan sebaik-baiknya sebagai bekal untuk pulang ke
hadirat-Nya. Baru ketika rasa kematian datang, kita mulai terkesiap. Panik dan
takut karena belum mempersiapkan dengan baik perjalanan yang kita tahu akan
datang bagaimanapun juga. Seperti orang yang kesiangan bangun untuk bersiap ke
luar negeri sementara dia belum packing. Masalahnya, it’s a one way ticket. Dia
pergi untuk pindah, tidak sekadar berkunjung. Bayangkan persiapan orang yang
hendak pindahan rumah. Betapa banyak hal yang harus dipersiapkan jauh-jauh
hari. Sementara persiapan kita pindah ke alam barzakh bagaimana?
Kok 20 menit? Itu hitung-hitungan kasar
saya dan kontemplasi memasuki usia 47 di tanggal 27 April lalu. Kalau di dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan
sesungguhnya satu hari (menurut perhitungan) Tuhanmu adalah seperti 1000 tahun
menurut perkiraanmu.” - QS Al Hajj
ayat 47
Jika satu hari di akhirat adalah seperti
365.000 hari di dunia, maka kira-kira satu jam di akhirat adalah seperti 41,7
tahun di dunia. Dengan asumsi rata-rata usia harapan hidup umat Muhammad SAW
diantara 60-70 tahun, maka saya kemungkinan hanya memiliki sisa waktu 20 menit
(waktu akhirat) di dunia. Angka yang relatif cepat jika dibandingkan
perhitungan dunia, ah masih 20 tahunan lagi dan membuat kita jadi berleha-leha
dan lalai menggunakan setiap aliran takdir yang ada sebagai jalan untuk semakin
mengenal diri, mengenal kehidupan dan akhirnya untuk mengenal-Nya.
Apa yang akan dilakukan dengan sisa usia
yang ada?
Hal pertama yang terpikir dalam benak saya
adalan untuk meminta maaf kepada semua orang yang pernah berinteraksi dengan
saya baik langsung atau tidak langsung. Barangkali ada perbuatan atau perkataan
yang tak sengaja menyinggung atau menyakiti. Melalui media ini sekaligus saya
meminta maaf sebesar-besarnya. Agar jangan sampai persoalan ini menjadi perkara
di Yawmil Hisab nanti. Mari kita selesaikan muamalah yang ada sekarang juga, di
dunia ini, selagi masih ada waktu.
Hal lain, saya akan fokus membereskan
segala amanah yang Allah Ta’ala letakkan di tangan saya, tentang anak,
keluarga, pekerjaan, proyek penulisan dan penerjemahan dll sebaik mungkin. Memang
waktunya tidak banyak, tapi setidaknya mempersembahkan niat untuk mensyukuri
apa-apa yang Allah berikan dengan sebaik-baiknya. Dan akhirnya saya akan
menghabiskan waktu di atas sajadah panjang, tempat favorit saya di muka bumi
ini. Memohon ampun, istighfar dan taubat sebanyak-banyaknya. Semoga ketika
waktunya tiba saya sedang dalam keadaan mengabdi kepada-Nya.
So, that’s it. Ternyata seseorang dihadapkan
pada kematian, hal-hal yang muncul dalam hati dan benaknya adalah tentang
keinginan untuk pergi dengan tenang dan damai, tidak menyakiti seseorang, dan
mensyukuri apa yang ada di tangannya di saat itu. Tidak muluk-muluk ingin
ini-itu. Tidak lagi terseret oleh kekhawatiran akan masa depan. Tidak terkoyak
oleh keinginan yang jauh dari kenyataan yang ada. You see, mengingat kematian
(dzikrul maut), membantu kita untuk melihat kehidupan apa adanya. Mengingat
bahwa hidup kita tak lama lagi membuat kita menjadi mereorientasikan arah dan
fokus kehidupan kepada yang lebih bernilai abadi. Dan, ringan rasanya kalau
hidup lepas dari kekhawatiran dan ketakutan akan hal yang belum tentu datang
atau meratapi keinginan yang tak terpenuhi untuk kemudian fokus mensyukuri apa
yang ada, karena setiap nafas betul-betul ada anugerah yang tak ternilai.
Alhamdulillah.
Amsterdam, 8 Mei 2025/ 10 Dzulqa'dah 1446 H
Jam 9.06 pagi, di musim semi yang cerah.