Sunday, June 5, 2016

Surat Syaikh Syarafudin Maneri Tentang Shaum

Surat yang ditulis tentang shaum oleh Syaikh Syarafudin Maneri, seorang guru sufi dari India yang ditujukan kepada muridnya yang bernama Qazi Syamsuddin.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wahai Syamsuddin, sesungguhnya para pemangku kebenaran dan keihsanan telah berkata: “Seperti halnya kekuatan raga tergantung pada makanan dan minuman, maka kekuatan jiwa tergantung kepada kondisi menahan lapar dan haus. Karena dalam ranah Tuhan, rasa lapar adalah jamuan yang sangat khusus.” Dikatakan bahwa salah sifat Tuhan adalah sebagai
berikut:
“Dan Dia yang memberi makan, bukan Dia yang diberi makan.” (QS Al An’aam [6]:14)
Jika seorang hamba mendekat melalui shaum, maka sesuai dengan kesepakatan para ulil albab maka ia berjalan di atas permadani yang membawanya mendekat kepada Allah. Sang hamba pun kemudian menjadi semakin berjarak dari sifat insaniyahnya. Ketika seseorang shaum dengan niatan “menjadikan perbuatannya mendekati perbuatan Tuhan,” kemudian ia pada saat yang sama mampu memberi makan hamba yang lain, maka dengannya ia makin mendekati kualitas Sang Maha Kasih. Sang hamba kemudian akan semakin menjauh dari tarikan ragawiyah dan menikmati pancaran kedekatan jiwa dengan-Nya, sebaimana Allah Rabbul ‘Aalamin telah berfirman, “Mereka yang shaum akan menikmati dua kebahagiaan, yaitu saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya.”
Apa sebenarnya kebahagiaan yang tersedia saat si hamba berbuka? Sang pencari Tuhan adalah bagaikan seseorang yang menempuh perjalanan jauh untuk bertemu sang kekasih. Syarat yang diberikan kepadanya adalah “Jika kau ingin bertemu dengan-Nya, maka shaumlah!”. Oleh karena itu ia menahan keinginan ragawinya selama perjalanan kembali.
“Dan kepada Rabb-mu lah kembali segala sesuatu.”(QS An Najm [53]:42)
Dan di akhir perjalanan, saat waktu shalat maghrib telah tiba dan kuda yang menopang dia dalam perjalanan telah ditambatkan. Sang pejalan menerima sajian alfalfa (sejenis tumbuhan yang kaya gizi) dan segelas air untuk menyudahi shaumnya pada hari itu dan memberi tenaga kepada sang pejalan. Pada saat itu hilanglah semua kepayahan yang ia telah alami sepanjang hari.
Adapun kebahagiaan kedua bagi orang yang berbuka sesungguhnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itu adalah sesuatu yang harus dialami, seperti kata pepatah “Siapapun yang belum mencecap rasa sesuatu sesungguhnya belum mengetahui apapun tentang hal itu.” Antara Tuhan dengan hamba-Nya terbentang 70.000 hijab, jika saja salah satu hijab itu tersingkap maka apapun yang ada di hadapannya akan tenggelam dalam balutan sinar-Nya. Lalu siapa yang mampu mengungkapkan dengan kata-kata sebuah pengalaman seperti itu? Inilah maksud sebuah pepatah “Adalah sia-sia membicarakan sesuatu yang telah demikian jelas!”
“Buatlah perutmu lapar dan badanmu kehausan, dengannya semoga engkau bisa melihat Tuhan di dunia ini.”Demikian firman Tuhan.
Wahai saudaraku, lalu mengapa raga ini harus menanggung sekian kepayahan? Berkaitan dengan shaum Rasulullah SAW bersabda, “Setiap amalan seorang hamba akan mendapat pahala hingga tujuh puluh kali lipat, kecuali shaum. Shaum yang dikerjakan demi mendapatkan ridho-Nya akan diganjar langsung oleh-Nya.” Maka saudaraku, sadarilah ganjaran yang sangat mulia saat seorang hamba menempa dirinya melalui shaum, sesungguhnya ia tengah diangkat dari kegelapan kecenderungan-kecenderungan hawa dan syahwat yang melingkupi dirinya untuk mendekat kepada-Nya hingga ke langit ketujuh meraih momen saat melihat wajah-Nya terjadi bagai mereka yang mencari-Nya dengan sungguh-sungguh.
Ibadah shaum sangat dianjurkan bagi para salik. Bagi mereka yang ingin mendengarkan titah Tuhan lebih jelas dalam hatinya, mereka akan menjalankan shaum selama empat puluh hari. Oleh karena itu dianjurkan untuk melanjutkan shaum Ramadhan dengan shaum di bulan syawal.
Seorang syaikh berpesan kepada muridnya, “Seorang murid dianjurkan memiliki tiga hal : Pertama, kecuali engkau ditaklukan oleh rasa kantuk, maka tidurlah sesedikit mungkin; Kedua, kecuali jika engkau harus mengemukakan sesuatu yang penting, maka sedikitlah berbicara; yang ketiga, kecuali jika engkau tak kuasa menanggung rasa lapar, maka shaumlah.”
Wahai saudaraku, sesungguhnya siklus makan dan memenuhi kebutuhan syahwat adalah menyibukkan kita dari memandang-Nya. Maka ketika seseorang mencoba mengosongkan dirinya melalui shaum kehadiran-Nya akan semakin jelas terasa. Sungguh menahan diri tarikan syahwat sembari duduk di karpet jamuan di hadapan-Nya adalah jauh lebih baik dibanding berpesta pora di dalam istana-Nya tanpa kehadiran Sang Maha Raja.
Wassalam (Adaptasi dan terjemahan dari Bahasa Inggris oleh Tessa Sitorini)

No comments:

Post a Comment