Di bumi ini pernah hidup sebuah bangsa yang orang-orangnya dikenal sebagai salah satu pasukan tempur terhebat di jaman Yunani kuno. Menurut Barry Jacobsen, seorang pakar sejarah , "Orang Sparta bukanlah pembuat tembikar, mereka juga bukan seniman - mereka tidak melakukan apapun selain bertempur. Ketika seorang anak lelaki Sparta menginjak usia delapan tahun, dia dilatih untuk melakukan satu hal, yaitu membunuh musuhnya."
Konon bayi-bayi Sparta yang terlahir lemah dan sakit-sakitan dan tampaknya tidak akan bisa digembleng menjadi seorang petarung akan langsung dibunuh. Kejam? Iya begitulah perilaku manusia untuk sekadar bertahan hidup. Kebetulan bangsa Sparta hidup pada jaman dimana peperangan kerap terjadi dan satu-satunya cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup adalah dengan memperkuat pertahanan diri atau lebih dahulu menaklukkan musuh.
Insting manusia untuk mempertahankan kehidupan bisa jadi bergeser fenomenanya, di jaman ini dimana peperangan hanya terjadi di sebagian kecil belahan bumi maka medan pertarungan mewujud berupa jerih payah meraih kenyamanan hidup dan mempertahankannya. Orang demikian terbuai oleh dongeng "meraih kesuksesan hidup" dengan janji-janji manis "pensiun dini", "menjadi cepat kaya di masa muda", "cara cepat mendapatkan passive income" yang kalau ditilik lebih dalam sebenarnya bisa jadi mematikan potensi jati diri yang harusnya berkembang. Masalahnya tidak banyak orang yang mau bersusah payah melalui masa "growing pains". Bagaikan benih yang harus pecah dan merasakan rasa perih keluar dari cangkangnya agar sang kecambah bisa tumbuh dan merentangkan diri ke langit untuk menghirup udara segar dan mencecap sapuan sinar matahari yang menyehatkan dirinya, akan tetapi keluar dari tanah "comfort zone" bagi kecambah juga berarti harus siap menghadapi hujan, angin dan tak jarang gangguan makhluk yang menjejakkan kakinya di permukaan tanah. It's a painful process dan melelahkan bagi sebuah benih untuk bisa tumbuh menjadi pohon yang kuat menjulang ke langit hingga bisa menghasilkan buahnya.
Kembali ke ihwal pembunuhan bayi-bayi Sparta. Di jaman ini manusia mungkin tidak membunuh raga sang bayi, akan tetapi tatkala potensi manusia dikerdilkan dan ditempatkan dalam kotak-kotak kecil berupa "rangking kelas", "lulusan terbaik", "masuk jurusan favorit" secara perlahan dan pasti berbagai potensi manusia yang sebenarnya tidak pas untuk dimasukkan dalam kotak tersebut dimatikan. Sama seperti memaksakan diri menilai keunggulan seseorang hanya dilihat dari kemampuannya untuk memanjat pohon yang pasti akan dimenangkan oleh kelompok kera. Lalu bagaimana nasib sang ikan yang jago berenang, sang burung yang lihai terbang dan gerombolan semut yang berupa makhluk kecil namun kelompok pekerja keras yang berjasa memakmurkan tanah?
Itulah tantangan kita hidup di tengah jaman ketika nilai kemuliaan kerap diukur dari segala pencapaian lahiriah dan materi. Seolah-olah kalau seseorang belum mencapai level manager atau direksi dikatakan belum sukses, kalau ia belum bergaji sekian digit dianggap medioker, kalau tidak mempunyai gaya hidup tertentu dianggap tertinggal dan sekian banyak kotak-kotak yang kembali mengkerdilkan jiwa sehingga ia tidak bebas berekpresi dan terpasung dalam pakem "apa kata dunia".
Tentang bayi Sparta yang terbunuh itu, barangkali setidaknya kita bisa menyelamatkannya di saat ini. Mulai dari diri sendiri, mulai dari jujur kepada diri sendiri dan membebaskan pikiran kita dari jeratan ekspektasi orang banyak. Sebuah proses yang tidak mudah, bagaikan membebaskan perbudakan dalam diri, butuh pertolongan-Nya, and to begin with it takes a lot of courage to start!
No comments:
Post a Comment