"Mama sama papa tidak bisa tinggal bersama lagi..."
Itu kalimat yang jelas terdengar di tengah derasnya hujan yang turun, menambah sendu suasana. Kami tengah ada di dalam mobil yang melaju pulang sore itu selepas menjemput saya dari SMPN 2 Bandung menuju rumah kami di Bandung Selatan. Saya tidak ingat lagi apa yang almarhum papa saya sampaikan setelah itu, saya keburu memalingkan wajah ke arah kaca mobil jendela mobil yang ada di samping kiri, menyembunyikan air mata yang menetes satu persatu dari ujung mata. Setelah itu hening...tak ada yang bicara hingga kami tiba ke rumah.
Setibanya di rumah saya ingat berlari kencang ke kamar dan membenamkan muka ke bantal untuk menangis sepuasnya, melepaskan luapan emosi yang ada. Ada sedih, kecewa, marah semua jadi satu. Tapi setelah semua emosi reda, kemudian akal sehat saya mulai jalan kembali dan perlahan bisa memahami keputusan ini. I was there, witnessing everything. Usia saya 13 tahun saat itu, sudah cukup besar untuk memahami dan membaca ihwal ketidakharmonisan di antara kedua orang tua saya, maka sangat bisa dipahami jika dalam kondisi demikian, mengambil jalan berpisah boleh jadi adalah keputusan yang terbaik untuk mereka. Sedangkan kami, anak-anak akan menyesuaikan. Dan seiring dengan waktu memang saya dan adik bisa menyesuaikan dengan rutinitas menemui orang tua di dua rumah yang berbeda. And believe it or not, they did seemed happier when they are apart.
Saya menyimpulkan bahwa bukan perceraian yang membuat anak bingung, hancur dan tak berdaya. Akan tetapi ketika melihat kedua orang yang dia cintai saling menyakiti; dengan melempar kata-kata kasar, dengan bertindak kasar, dengan menyebarkan keburukan satu sama lain kepada temannya, semua itu lebih menyakitkan dibandingkan harus menelan kenyataan bahwa saya harus menempuh jarak tertentu untuk sekadar bertemu papa.
Jika memang ada pasangan yang sudah demikian sulit untuk dipersatukan dan memilih berpisah, maka lakukanlah baik-baik. Telan kekecewaan dan amarah kepada pasangan dan jangan sekali-kali menunjukkan kebencian kita di depan anak. Itu akan mengoyak hatinya. Karena bagi seorang anak, ayah dan ibu adalah dunianya, adalah kasih mereka berdua yang membawa ia dilahirkan ke dunia, and please keep it that way. Leave the children out of it. Tanpa diucapkan sebenarnya anak-anak suatu saat akan paham tentang apa yang terjadi. Setidaknya berikan kenang-kenangan akhlak yang indah bagi anak, jadilah contoh hidup bahwa kita bisa berbeda dan berpisah tapi tetap menjunjung tinggi adab dan etika pertemanan dengan baik.
And in my case, it was a big help...
Amsterdam, 27 Februari 2018.
8.52 am
No comments:
Post a Comment