Sunday, August 28, 2022

 “Kamu bahagia?”

Tanya saya sungguh-sungguh. 


“Aku bahagia” jawabnya.

Tapi saya tak begitu yakin dengan jawaban itu. Sorot matanya berkata lain.

Dan benar, sekian bulan berselang dia membuka keadaan yang sebenarnya. Bahwa dia tidak bahagia. Bahwa dia serasa tak menjejak di kehidupannya. Padahal kurang apa, pasangan baik sekali, harta berlebih, kesempatan terbuka lebar. Tapi dia belum tahu apa yang harus dia lakukan dengan itu semua. Saya jadi belajar bahwa keberlimpahan itu justru bisa membuat seseorang tidak bahagia, bahkan jatuh dalam depresi. Too much of anything will kill you.


Di kasus lain, sahabat yang lain. Saya tak perlu bertanya apakah dia bahagia atau tidak. Saya bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari matanya, senyumnya, gelak tawa spontannya. Padahal kehidupannya ya ampuun Gusti, penuh liku, pendakian, jalan terjal dan duri. Banyak difitnah, sempat luntang-lantung tidak punya tempat tinggal, kesempitan rezeki sudah jadi menu rutin. Tapi hatinya damai menjalaninya. Seperti ada daya gaib yang mendorongnya dan memberi dia energi melalui semua itu. Dan lisannya banyak menyebut Dia. Tak sekalipun dia sesali takdir yang ada. Sahabat ini buat saya adalah contoh hidup seseorang yang berserah diri pada ketetapan-Nya. Bukti nyata bahwa kebahagiaan bukan didefinisikan oleh ha-hal duniawi yang dimiliki. 


Dua pembelajaran nyata di hadapan mata bahwa bahagia itu tidak tergantung oleh situasi dan keadaan hidup juga bukan pada lapang atau sempitnya keadaan. Karena yang satu kondisinya lapang dan berkelimpahan tapi tetap tidak bahagia, sedangkan yang lain didera ujian dan dihimpit kesempitan tapi lisannya masih bisa memuji-Nya dan memancarkan kedamaian di matanya.


Sungguh sebuah pelajaran kehidupan.

No comments:

Post a Comment