Saturday, August 6, 2022

 

MENGUKUR ULANG PRODUKTIVITAS

"Productivity" is my mid name.
Let's say that i'm quiet obsessed with it.
I'm the "carpe diem" kinda person yang melihat hari ini seakan hari terakhir, jadi cenderung all-out and run in warp 5 speed kalau mengerjakan sesuatu.

Masalahnya saya terbiasa mengukur produktivitas saya dengan berapa naskah yang selesai saya tulis, berapa file yang selesai diedit, berapa kata dalam biografi yang tengah saya kerjakan yang bisa saya kembangkan dari hari ke hari. Dan semua skema itu buyar manakala kita tengah berlibur dan bepergian. Waktu saya terkuras untuk keluarga. Walaupun saya mencoba meluangkan waktu di sore atau malam hari, tetap saja tenaganya beda - sudah banyak terkuras ke kegiatan lain.

Minggu pertama saya mulai gelisah. Tidak merasa puas dengan "capaian produktivitas" saya. Tentu saja tidak akan sama, namanya juga sedang liburan. Tapi ada hal halus dalam hati yang saya kemudian ambil pelajaran, dengan rahmatNya. Yaitu bahwa jangan-jangan selama ini saya terlampau asyik dalam segenap kesibukan yang nampaknya produktif tapi hati saya terpeleset tidak mengandalkan Allah tapi lebih mengandalkan amal-amal itu. Buktinya, hati mulai gelagapan begitu ritme beramal dicabut . Disitulah the moment of truth. Saat dinampakkan sandaran hati kita kemana.

Saya belajar bahwa kalau hati ikhlas bersandar kepada Allah betul maka pekerjaan jenis apapun, lapang atau luang sebagaimanapun juga seperti apapun keadaannya si hati mestinya asyik-asyik saja menikmati setiap suguhannya. Dia tidak pilih-pilih. Akhirnya dia akan jadi senantiasa bersuka cita dengan takdir yang Allah desain untuknya.

Tauhid kita mengatakan bahwa Dia hadir di setiap keadaan. Maka saat senang dan sedih, kehadiran-Nya selalu menyertai kita. Demikianpun saat sempit dan luang, saat banyak duit dan bokek, saat beken dan tak dikenal orang, saat sehat dan sakit, saat jomblo dan memiliki pasangan, saat dipuji dan dicaci, saat untung dan saat buntung, semua pasang surut kehidupan itu mestinya tidak membuat keimanan kita menciut. Karena ikhlas itu berarti bergantung mutlak sepenuhnya kepada Allah Yang memberikan keadaan. Bukan bergantung kepada keadaannya yang pasti akan berganti-ganti. Bukan juga bergantung pada manusia yang punya potensi mengecewakan.

Al Quran sudah jauh-jauh hari mewanti-wanti kita akan hal ini,

"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata (mukhlisiina lahuddiin)..." Al Bayyinah:5

No comments:

Post a Comment