Pengalaman menjalani takdir di dua warna kehidupan membuat kita menjadi lebih mengenal kekuasaan-Nya.
Saya pernah menjalani masa remaja dalam kondisi keuangan keluarga yang boleh dibilang lebih dari cukup. Sebagai gambaran, di era tahun 1989an setiap minggu pasti belanja ke mall dan makan di restoran besar beserta ayah, ibu dan adik, saat itu orang tua dalam kelimpahan sehingga kalaupun saya menginginkan sebuah barang seharga satu juta rupiah pun akan dibelikan, lalu saat sekolah di bangku SMA saya sudah diberi mobil khusus untuk saya kendarai ke sekolah.
Sampai kemudian krisis menimpa keluarga kecil kami, diawali dari kurang harmonisnya orang tua yang berujung pada berpisah rumah, momen yang berasa seperti gempa dalam hidup saya namun pada saat yang bersamaan di titik itulah pencarian Tuhan dan makna hidup dimulai. Kemudian perlahan tapi pasti keadaan ekonomi keluarga menjadi morat-marit. Rumah tempat saya tinggal sejak bayi hingga usia sekitar 15an tahun harus dijual. Setelah itu pekerjaan dan usaha orang tua kerap dirundung musibah, entah itu dibuat konflik yang menyesakkan di pekerjaan hingga bisnis mereka bagai lenyap ditelan bumi. Sedemikian rupa sehingga pada waktu saya kuliah diterima di fakultas kedokteran Unpad, pada tahun pertama kami menyewa kamar kost yang cukup representatif untuk memangkas waktu dan biaya transportasi dari Bandung ke Jatinangor. Saya masih ingat dingin dan kerasnya lantai kostan karena satu bulan pertama saya pindah kost orang tua saya tidak mampu untuk sekadar membelikan kasur lipat seharga 120 ribu rupiah. Maka saya pun tidur di atas lantai dialasi karpet tipis dan kain seprai yang mama bawakan setiap minggu. Sungguh saya tidak mengeluh apalagi merasa miskin, walau sesekali saya memergoki ibu menangis diam-diam. Life goes on, saya masih bisa makan walau kadang harus menghemat dengan makan menu nasi kerupuk dan kerap tidak punya biaya untuk memfotokopi apalagi membeli buku-buku kedokteran yang mahal dan saking tebalnya bisa sampai dipakai jadi bantal. Hal itu saya siasati dengan tidur di awal waktu dan bangun tengah malam untuk menyalin buku-buku yang saya pinjam dari teman. Masih lekat dalam ingatan saya ketika almarhum ayah saya berkunjung ke kostan untuk memberikan uang bekal mingguan dan selalu membawakan nasi bungkus padang, wuaah mewah sekali rasanya. Kesempitan hidup ternyata membuat kami makin kompak dan makin mensyukuri keberadaan satu sama lain.
Kemudian krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998. Saya ikut aktif menggerakkan mahasiswa untuk membantu masyarakat yang saat itu harus mengantri panjang sekadar untuk mendapatkan sembako. Pada saat yang bersamaan bisnis orang tua ditipu besar-besaran hingga mereka tidak bisa membiayai uang kost dan saya mulai kuliah pulang pergi Bandung-Jatinangor berjejalan dalam Bus Damri yang badannya sudah miring 22,5 derajat dipenuhi oleh penumpang di pagi hari. Untuk bisa pergi kuliah saya butuh uang 10ribu rupiah sehari, senilai satu kantung roti tawar yang dibuat sendiri oleh ibu. Oleh karenanya tidak jarang saya telat kuliah karena menunggu pembeli roti tawar. Kondisi yang kemudian diatasi dengan saya berjualan donat dan gorengan bikinan ibu di bangku kuliah.
Singkat cerita, saya bisa lulus jadi dokter. Walau hingga hari ini masih tidak habis pikir kok bisa dengan penghasilan orang tua yang pas-pasan saat itu. Tapi pola yang sama juga terjadi pada keponakan saya yang ayahnya meninggal dunia saat dia masih sekolah di bangku SMA. Pada saat dia diterima di sebuah perguruan tinggi negeri tak terbayang darimana mendapatkan dana untuk kuliah. Karena ibunya harus menanggung utang karena bisnis keluarganya ditipu dalam jumlah yang besar, sampai-sampai mereka harus kehilangan rumah dan berkelana dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lainnya. Sang ibu yang menyambung hidup diri dan anak-anaknya dengan menjahit baju dalam sebuah kesempatan berkata "Kalau dipikir-pikir ngga masuk akal bing, tapi rejeki dari Allah ada aja pada saatnya". Putri sulungnya sekarang sudah mendapat pekerjaan baik di perusahaan besar dan menjadi tulang punggung keluarga membantu biaya sekolah adiknya.
Kesimpulannya, jangan takut kurang rezeki dalam hidup, malu kepada Dia Yang Maha Kaya. Kita harus lebih dahulu yakin baru memudian bisa mengajari anak-anak kita untuk lebih yakin dan tawakal kepada rejeki yang ada di tangan Allah dibanding secanggih apapun rencana keuangan kita. Tentu berbekal dan menabung itu penting demi mempersiapkan masa depan, namun jangan itu dijadikan tumpuan yang berakibat cederanya akidah kepada Allah Ta'ala. Seberat apapun kesulitan kehidupan yakinlah pasti ada jalan keluar karena Dia sama sekali tidak berniat untuk menzalimi hamba-Nya.
Amsterdam, menjelang pagi (pukul 3.09) di bulan Sya'ban
No comments:
Post a Comment