Sunday, May 14, 2017

Mengasah 'Rasa' Dalam Beragama

Suatu hari seorang terpelajar yang menyukai filsafat datang berkunjung ke Syams dan berkata, "Aku telah membuktikan eksistensi Tuhan dengan bukti rasional!"
Pagi berikutnya Syams berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Tadi malam aku bermimpi melihat para malaikat turun memberkati lelaki ini seraya mengatakan, 'Dia telah (mencoba) membuktikan eksistensi Tuhan - setidak-tidaknya dia tidak berbuat mudarat terhadap makhluk! '"

- Jalaluddin Rumi dalam Fiihi maa Fiihi.

Adalah mustahil membuktikan kebenaran Dia yang 'laisa kamislihi syaiun' (tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya). Akal pikiran pun akan pontang-panting meraih aspek rasa yang hanya bisa dicecap oleh entitas qalb yang ada dalam setiap insan.

Beragama itu adalah untuk membangun kedekatan diri dengan Sang Maha Pencipta, semakin dekat seseorang dengan-Nya aspek rasanya akan semakin kuat. Maka dikatakan "Hati-hatilah kalian dari firasatnya orang mukmin, karena mereka memandang dengan nur (cahaya) Allah"(HR Ibnu Umar).

Maka ada aspek 'rasa' yang harus dibangun ketika kita menegakkan agama (ad diin). Karena kalau beragama hanya mengedepankan aspek syariat tanpa mencecap rasa yang muncul hanya sifat keras, sebagaimana natur syariat sebagai pagar pembatas antara yang halal atau haram, yang buruk dan yang baik. Pagar koridor memang harus kokoh tapi koridor juga merupakan jalan lebar - there are so many space in between - ini wilayah yang dikatakan Kanjeng Nabi Saw bahwa "Perbedaan di antara umatku adalah rahmat".

Beragama hanya mengandalkan aspek logika akan menghadang orang dari menggunakan komponen hati yang bisa me-'rasa' mana-mana yang pas baginya dalam membangun peribadatan kepada Sang Rabb. Alih-alih orang hanya menenggelamkan diri dan habis waktunya memperdebatkan apakah sebuah hadits dhoíf atau bukan, apakah sholat bara'ah itu ada contohnya dari Rasulullah Saw atau tidak, sementara bagi mereka yang melihat aspek lain meluangkan waktu sejak Isya hingga hampir sholat Shubuh mendirikan sholat 100 raka'at yang terdiri dari 2 kali 50 kali - sesuatu yang pernah Allah perintahkan saat Rasulullah Saw diperjalankan dalam peristiwa dahsyat Isra Mi'raj. Di malam pernuh berkah yang terjadi peristiwa 'negosiasi' agar mengurangi kewajiban sholat dari 50 kali sehari menjadi 5 kali sehari.

Tapi baiklah kalau contoh sholat baro'ah pun masih memancing perdebatan bagaimana kalau kita meninjau sama-sama perintah shaum Ramadhan yang segera kita jelang. Beberapa teman saya yang bekerja di Eropa dan melakukan shaum Ramadhan di musim semi atau panas ketika waktu matahari terbit lebih lama dari biasa dengan waktu berpuasa bisa sampai 17 jam (jam 3 pagi hingga jam 10 malam)- biasanya mengalami pertanyaan berulang tahunan dari koleganya "kok mau-maunya menyisa diri sendiri? ibadah apaan sih ini? ga masuk akal" - nah persis di situ, memang ibadah itu ngga masuk akal kok. Karena itu ranah hati, makanya perintah shaum untuk orang beriman (ya ayyuhalladziina 'aamanu) bukan yaa ayyuhannas - seruannya bukan kepada manusia umum, tapi manusia yang mulai ada iman walau setitik dalam hatinya. “Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqarah: 183). Iman sekecil apapun adalah tali yang kokoh yang menghubungkan hati seorang mukmin dengan Allah Ta'ala. Yang dengannya ia mau saja disuruh sholat menyungkurkan kepala yang isinya dia banggakan - merapat dengan tanah, demi meningatkan diri bahwa sehebat apapun diri dan karyanya dia bukan siapa-siapa kalau tidak Tuhannya bantu.

Adalah kadar iman yang tinggi itu yang membuat seorang Abu Bakar Ash Shiddiq menginfakkan seluruh hartanya pada saat Rasulullah SAW mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan harta mereka untuk dana perang melawan Romawi di Tabuk. Saat itu Rasulullah Saw bertanya “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah kepada Abu Bakar. “Allah dan Rasul-Nya?” jawab Abu Bakar tanpa keraguan sedikitpun. Dan Rasulullah Saw menerima karena apa yang diperbuat oleh seorang Abu Bakar Ash Shiddiq berasal dari ketaqwaan dalam hatinya. Inilah totalitas hati Abu Bakar. “Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati tak menyisakan apapun melainkan apa yang ia cintai,” demikian komentar Imam al-Ghazali tentang kisah beliau ini.



Namun berbicara tentang totalitas beribadah harus hati-hati, bisa-bisa mengerjakan sesuatu yang terlihat spektakuler dan jihad besar tapi yang mendasari bukan ketaqwaan hati tapi esmosi semata, riya dan tanpa ilmu yang mumpuni. Tentang yang terakhir ini ada kisah nyata tentang seorang laki-laki yang begitu bersemangat menimba ilmu agama dari seorang guru dan berniat mendedikasikan hidup dan waktunya untuk mendekat kepada Allah dengan menjadi murid beliau. Namun sang guru dengan kasih sayang menyuruh dia pulang sambil berkata "Lha, terus anak dan istri kamu dikasih makan apa?"[]

No comments:

Post a Comment