Wednesday, March 7, 2018

Ketika Allah berfirman:
"Janganlah engkau membunuh anak-anakmu!" (QS Al-Isrâ [17]: 31)
sebagian besar yang membacanya merasa tak tersentuh oleh ayat itu. Merasa tak mungkin membunuh anak sendiri, lha wong buktinya anak-anak tumbuh baik, sehat bergizi, pintar, dirawat dll.
Tapi bagaimana dengan pertumbuhan jiwa sang anak?
Sesuatu yang kerap luput diperhatikan, meskipun semakin besar anak, semakin pintar akalnya, tapi jiwanya merana karena tidak diberi makanan yang sesuai untuknya. Jika tubuh tidak diberi makan sehari penuh saja, sudah lemas sedemikian rupa, lantas bagaimana halnya dengan jiwa yang bertahun-tahun tidak mendapatkan makanan yang merupakan haknya?
Maka dikatakan:
"Sungguh rugi mereka yang membunuh anak-anaknya karena kebodohan tanpa pengetahuan." (QS Al-An'âm [6]: 140).
Orang tua yang tidak mengerti bagaimana merawat jiwa anak dan menumbuhkannya, maka secara tidak sadar berarti telah menciutkan potensi jiwa sang anak.
Itulah orang tua yang memaksakan kehendak agar sang anak mengambil jurusan atau pekerjaan tertentu semata-mata "takut miskin" (QS Al-Isrâ [17]: 31), takut anaknya dianggap tidak sukses, takut tidak ada yang meneruskan usaha keluarga, takut dipandang sebelah mata oleh keluarga besar, tetangga, teman kerja atau masyarakat.
Orang tua yang cenderung "membunuh anaknya" melakukan hal itu karena kesesatan dirinya sendiri dan tidak mendapat petunjuk Allah (QS Al-An'âm [6]: 140). Tentu semua orang tua mencintai anaknya dan ingin agar mereka bahagia. Tapi versi bahagia orang tua bisa jadi, dan malah sangat sering, berbeda dengan versi kebahagiaan yang Allah kadarkan kepada anak-anak yang merupakan ciptaan dan milik-Nya itu.
Mengasumsikan kebahagiaan hanya dari indikator pencapaian duniawi bisa jadi sebuah kesalahan yang fatal yang bisa mengacaukan ad diin (agama) seseorang. (QS Al-Isrâ [17]: 31). Adapun kebahagiaan sejati seorang anak terletak kepada kebahagiaan jiwanya. Ini baru bisa terasakan manakala ia menempuh jalan hidup yang dimudahkan untuk dirinya sendiri, manakala telah menemukan kegiatan atau pekerjaan yang membuat hatinya bernyanyi.
Dan peran orang tua adalah menjadi pengawas serta pendamping yang baik agar sang anak bertumbuh fitrah dirinya. Tidak memaksakan dia memakai baju kehidupan yang bukan ukuran atau seleranya.
Seperti yang dikatakan oleh Platon:
"Hak istimewa terbesar dalam kehidupan manusia adalah untuk membidani kebangkitan jiwa pada diri seseorang."

No comments:

Post a Comment