Monday, March 12, 2018

Pernah ada fase ketika saya melalui hidup yang difakirkan, syariatnya melalui bisnis orang tua yang gagal sehingga kondisi keuangan kami pas-pasan. Waktu itu saya menginjak tahun kedua kuliah di kedokteran. Kalau melihat lagi ke belakang rasanya tidak mungkin secara hitung-hitungan saya bisa lulus dari dan menjadi dokter, karena biaya kuliah yang relatif mahal bahkan untuk hitungan saat itu. Akan tetapi entah kenapa selalu ada rezeki dari Allah pada saatnya. Saya ingat di dua tahun terakhir saya menyelesaikan S1 harus terengah-engah mengejar waktu untuk bisa hadir kuliah di pagi hari dengan menempuh perjalanan dari Bojongsoang ke Jatinangor naik bus Damri yang miring ke kiri karena penuh sesak oleh penumpang.

Ya, saya selalu pas-pasan tiba di kampus kalau tidak terlambat, karena setiap pagi menanti orang yang membeli roti tawar buatan mama yang dijual di toko roti miliki keluarga. Sekadar menunggu orang membeli satu roti tawar seharga sepuluh ribu rupiah. Jumlah yang saya butuhkan untuk bekal dan ongkos kuliah satu hari. Syukur-syukur ada teman yang membawa mobil lewat di jalan dan berbaik hati memberi tumpangan. Selain cepat, juga menghemat ongkos.

Alhamdulillah saya diberi kedua orang tua yang baik dan kuat. Tidak pernah sekali pun saya mendengar mereka mengeluhkan keadaan ini, perubahan gaya hidup dari yang serba berkecukupan menjadi prihatin. Mereka tidak bicara banyak tentang hal ini, akan tetapi ketangguhan mereka menyongsong takdir hidup yang harus dipikul bersama saat itu, sedikit banyak menempa saya menjadi pribadi yang pantang menyerah dan tidak berkecil hati dengan keadaan yang ada. "Kuasa Allah...kuasa Allah..." ratusan kali saya dengar kata-kata itu meluncur dari lisan mama jika tiba-tiba ada rezeki tak terduga.

Penggal episode hidup saya itu menjadi lebih dipahami melalui penjelasan mursyid yang mengatakan bahwa jika hidup selalu berkecukupan dan baik-baik saja, maka sulit untuk mengenal Allah secara hakiki dalam kehidupan. Bahwa manusia tidak akan pernah bisa mengenal Allah (makrifatullah) jika belum pernah menemukan ruang fakirnya. Dan ruang fakir setiap orang itu berbeda-beda di setiap waktu. Ada yang gajinya tidak cukup untuk sebulan, maka adalah hak Allah untuk memberi jalan bagi sang hamba rezeki bagi dirinya dan keluarga di saat itu dengan rezeki yang tak terduga. Ada yang fakir, sedang membutuhkan kesehatan badan, maka Allah yang akan membuat jalan-jalan penyembuhannya. Ada yang fakir dalam menanti jodoh. Ada yang fakir dibuat tak berdaya dalam menghadapi urusan rumah tangganya. Ada yang fakir dibuat pontang-panting oleh urusan pekerjaan dan dunianya. Semua yang diluar jangkauan kita, yang kita dibuat merasa tak berdaya karenanya. Itulah ruang temu yang sangat berharga, karena Dia akan hadir di sana. Insya Allah.

(Amsterdam, 12 Maret 2018. 11.08 pagi)

No comments:

Post a Comment