Thursday, March 22, 2018

Upayakan Tidak Menunjukkan Amarah

Suatu hari saat sedang ngopi bareng teman di J Co Pondok Indah Mall Jakarta, suasana tenang yang sedang kami nikmati tiba-tiba buyar karena seorang bapak mencak-mencak memarahi habis salah seorang pegawai konon karena kurang tanggap melayani anaknya yang meminta tambahan donat. It was quiet a scene. Terrible one. Saya harus menahan diri untuk tidak menghampiri si bapak dan menenangkan si mbak pegawai yang tertunduk sambil menangis.
Untung saya tidak melalukan apa-apa saat itu, kemudian saya paham kalau menghadapi orang yang memprovokasi dan marah-marah ngga jelas seperti itu tindakan yang paling pas adalah acuhkan. Kata Ibnu Arabi, "Anda tidak akan mendidiknya dengan memberikan respon kepada aura negatif yang ia sebarkan," maka acuhkan saja. Hal lebih efektif dibanding harus memuaskan ego diri membalasnya dengan niat ingin memberikan hukuman yang setimpal.
Don't fight fire with fire. Begitulah. Karena yang dibutuhkan oleh seseorang yang tengah dikuasai oleh amarah adalah untuk memahami apa akar dari amarahnya tersebut. Apakah kelelahan yang kronis? Apakah ketidakpuasan tertentu? Apakah kekecewaan karena tidak juga mendapat kenaikan pangkat atau gaji? Apakah karena frustasi? Apakah khawatir akan sesuatu? Apakah karena merasa kesepian? Apakah karena merasa kewalahan dalam pekerjaan atau mengerjakan aktivitas di rumah? Dsb.
Masih kata Ibnu Arabi, "Marah itu hasil dan tanda bahwa ego seseorang masih belum dikendalikan oleh jiwa, tanda bahwa hawa nafsunya masih liar dan belum terkendali." Seperti halnya cara menjinakkan kuda liar dengan mengikatnya dan mencoba menungganginya, maka amarah harus sekuat tenaga ditahan agar tidak bocor bahkan terhambur keluar. Jika tidak bisa menghentikan amarah, setidaknya upayakan agar tidak menunjukkannya. Karena saat seseorang melakukan hal ini, pada detik itu ia sedang membuat Allah senang dan membuat iblis kecewa. Sungguh ini tidak mudah, Rasulullah saw pun bersabda, "Bukanlah orang yang kuat itu adalah yang bisa mengalahkan lawannya dalam pergulatan, akan tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah."
Dan menahan amarah ini sebuah upaya yang disukai Allah, termasuk salah satu karakter al muhsinin (orang-orang yang berbuat kebajikan). “Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134).
Semoga Allah membantu kita dalam mengendalikan amarah diri. Aamiin.
(Referensi: What the Seeker Needs' by Muhyiddin Ibn 'Arabi, translated by Shaykh Tosun Bayrak and Rabia Harris.)


No comments:

Post a Comment