Friday, May 10, 2019

Tak ada orang yang tahu bahwa dirinya setiap kali melantunkan sebuah doa yang sangat pribadi di dalam hati, memohon kepada Tuhan akan jalan yang terang apakah dirinya raja yang benar untuk memimpin Perancis. Dialah Charles yang juga dijuluki Dauphin, raja yang sebenarnya sah untuk memimpin Perancis. Akan tetapi pada saat itu Perancis terbagi dua, antara yang mendukung Dauphin dan yang mendukung anak dari hasil pernikahan antara Henry V, raja Inggris dengan puteri Katharine dari Perancis untuk menjadi raja. Belum lagi tersebar isu di masyarakat yang dibantu dihembuskan oleh pihak Inggris bahwa Charles sebenarnya bukan anak sang raja Perancis sebelumnya.

Perpecahan di dalam kerajaan Perancis saat itu membuat kondisi masyarakat menderita. Moral para pasukan sangat lemah, hingga dikabarkan saat pasukan Inggris menyerang negeri itu, satu orang tentara Inggris bisa mengalahkan tiga orang tentara Perancis sekaligus. Korupsi merajalela, tentara tidak lagi melindungi rakyatnya, malah menjarah ternak dan harta benda mereka. Posisi Charles semakin terkepung saat mendengar kabar bahwa sebuah kota strategis bernama Orleans sudah dikepung oleh pasukan Inggris. Jika kota itu jatuh, maka sudah hampir dapat dipastikan kerajaan Perancis di bawah pemerintahannya juga akan segera jatuh.

Di tengah kekalutan itu tiba-tiba Charles dikejutkan dengan kedatangan seorang perempuan muda berusia sekitar 16 tahun dari sebuah desa kecil yang mengaku diutus Tuhan untuk memimpin Perancis mempertahankan diri dari serbuan asing. Perempuan itu bernama Jeanne d’Arc (Joan of Arc). Untuk menguji kebenaran dan kekuatan seorang Jeanne d’Arc maka Charles mengundang ia masuk ke dalam dengan menyamarkan dirinya berdiri di antara para menteri dan menyuruh orang lain untuk duduk di atas singgasananya. Jeanne yang belum pernah sama sekali bertemu dengan Charles pun melangkah masuk mendekati singgasana. Namun saat mendekat ia ternyata mengetahui bahwa yang tengah duduk disana bukan orang yang ia cari. Maka ia pun menyapu pandangan ke sekitar hingga matanya terhenti pada sosok Charles yang tengah menyembunyikan dirinya diantara para menteri dan ajudan kerajaan yang berdiri menutupinya. Jeanne lalu menunduk dan memberikan hormat kepada rajanya. Akan tetapi Charles masih tetap menguji dengan menunjuk ke arah orang yang tengah duduk di atas tahta. Jeanne pun berkata, “Tidak tuanku, kepada padukalah aku diutus.” Lalu pecahlah suara orang-orang yang tertegun melihat fenomena itu, sebagian bahkan khawatir bahwa gadis itu adalah seorang penyihir.

Jeanne sadar bahwa langkah awalnya ini yang sangat berat, yaitu meyakinkan sang raja untuk memberinya mandat memimpin pasukan menghadapi pasukan Inggris. Ia akhirnya menawarkan sebuah cara untuk membuktikan kebenaran dirinya, ia harus menyampaikan suatu kabar kepada Charles tapi hanya dalam pertemuan empat mata. Lalu masih disaksikan oleh semua yang hadir di balai istana, Charles pun berbicara empat mata dengan Jeanne di sebuah sudut. Tak berapa lama Charles kembali dengan wajah yang pucat dan Jeanne berjalan di belakangnya dengan senyum simpul. Setelah itu raja Charles mengirim Jeanne sebagai pimpinan ke medan perang dengan dibekali oleh pasukan yang tersedia untuk membebaskan kota Orleans dari kepungan tentara Inggris. Sejarah kemudian mencatat bahwa sembilan hari setelah pasukan yang dipimpin oleh Jeanne d’Arc menuju Orleans, maka Inggris dapat diusir dari Perancis dan akhirnya Charles VII diangkat sebagai raja.

Kehadiran Jeanne membuat moral pasukan Perancis timbul kembali. Ia selalu berada di barisan paling depan dengan stamina dan keberanian yang luar biasa. Pertempuran demi pertempuran dia jalani dan sempat terluka parah. Walaupun demikian ia harus menghadapi kematian yang tragis akibat konflik internal yang ada di kerajaan Perancis sendiri. Pada usia 19 tahun ia dijatuhi hukuman mati berupa dibakar hidup-hidup dengan tuduhan melakukan bidah, yang keputusannya diambil secara kontroversial. Tak kurang seorang Kardinal Beaufort pun menitikkan air mata saat mengetahui Jeanne diperlakukan seperti itu. Baru sekitar lima abad kemudian gereja katolik melalui Paus Benedict XV mengakui ia sebagai salah satu diantara daftar orang-orang suci.

Sempat ada kesimpangsiuran berita ihwal kematian Jeanne ini. Pada saat itu sempat ada kabar yang tersebar bahwa Jeanne belum mati. Tersebutlah kisah bahwa delapan tahun sejak peristiwa hukuman mati tersebut, ada seorang gadis belia yang mengaku dirinya sebagai Jeanne. Lalu ia pun dipanggil ke istana untuk bertemu langsung dengan Raja Charles VII yang langsung mengajukan pertanyaan untuk menguji apakah ia benar Jeanne yang ia pernah temui dulu. Sang raja bertanya, “Kau masih ingat kan tentang percakapan rahasia kita?” Dan si gadis yang mengaku sebagai Jeanne itu dibuat kelabakan karena terbongkar identitasnya sebagai Jeanne palsu.

Tak ada satu pun yang tahu apa percakapan singkat yang dilakukan oleh Jeanne untuk meyakinkan Charles dulu. Jeanne pun tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun tentang percakapan ini, walaupun pernah didesak oleh para ulama gereja untuk membukanya, ia menolak dengan mengatakan bahwa ini adalah rahasia sang raja. Baru setelah sang raja menjelang wafat ia menceritakan hal ini kepada sahabat karibnya. Sebuah kalimat yang sempat membuat pucat wajah Charles. Kalimat yang menyelamatkan sebuah kerajaan yang tengah berada di ujung kehancuran. Kalimat yang menjadi jawaban atas doa rahasia Charles selama sekian lama. Kalimat itu adalah, “Engkaulah yang berhak menjadi raja.”

(Sumber: The Story of Joan of Arc. Andrew Lang. Guttenberg Press)

No comments:

Post a Comment