"Laa ikraaha fid diin..."
(QS Al Baqarah [2]: 256)
Dalam diin (agama) tidak ada paksaan.
Bagi yang sudah dalam diin, apapun dia kerjakan dengan sukacita. Timbul dari sebuah kesadaran dan kebaktian yang kerap tak dapat dicerna oleh logika.
Seperti orang yang sedang jatuh cinta, katanya gunung pun kan ku daki, lautan pun kan kuseberangi. Demi bertemu dengan yang dicintai, rela berlama-lama menempuh perjalanan jauh. Rela mengeluarkan ongkos bolak-balik, sekadar bertemu di akhir pekan yang singkat. Rela bermalam-malam pulang sambil menahan kantuk.
Kata paksaan tak dikenal oleh seorang pecinta. Ia melakukan semuanya dengan suka cita. Apapun akan dia lakukan demi menuai senyuman sang kekasih.
Orang yang sudah dalam diin, tak merasa dipaksa.
Mereka mengerjakan semua syariat dengan suka cita.
Tak merasa dipaksa shaum, menahan lapar dan haus seharian.
Tak merasa dipaksa mengenakan jilbab.
Tak merasa dipaksa membayar zakat.
Tak merasa dipaksa bangun di sepertiga malam sambil menahan ngantuk dan menerobos selimut kemalasan.
Tak merasa dipaksa mengerjakan amr-Nya.
Tak merasa dipaksa ketika ia harus mengerjakan petunjuk-Nya yang berat sekalipun. Seperti Ibrahim as yang harus meninggalkan anak dan istrinya di padang tandus Mekkah. Seperti Nuh as yang harus merelakan anaknya ditelan air bah. Seperti Rasulullah saw yang menerima petunjuk harus berperang.
Dalam diin, hanya ada satu keinginan. Keinginan Sang Pencipta.
Hanya ada satu keridhoan. Keridhoan Sang Pencipta.
Hanya ada satu tujuan. Ma'rifat kepada Allah Ta'ala.
Maka diin mempersyaratkan sebuah keberserahdirian (aslama) mutlak.
Itulah Diinul Islam.
Jalan berserah diri untuk menemukan kedamaian yang sejati.
Amsterdam, 30 September 2022 / 4 Rabiul Awwal 1444 H
No comments:
Post a Comment